Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

resi
Penulis: Resi

Cinta: Sebuah Pesta Bodoh yang Kita Rayakan Berdua



Oleh: Resi


Ada satu penyakit yang jarang kita akui tapi sering kita alami, kebodohan kolektif saat jatuh cinta. Penyakit ini tidak hanya mengenal jenis kelamin. Perempuan, laki-laki semuanya bisa terkena tanpa memandang gender. Bedanya hanya gejala yang muncul di permukaan. Lucunya, meski berkali-kali kena, kita jarang belajar dari pengalaman. Kita sering membungkus luka dengan kata, “tulus” atau “demi cinta”, padahal sejatinya itu hanya cara halus untuk bertahan dengan luka yang sama dan hubungan yang tidak sehat.

Mari kita mulai dari fakta yang sering di bicarakan, perempuan yang cenderung mengutamakan perasaan. Begitu cinta datang, sebagian dari mereka rela menjadikan pasangan sebagai pusat gravitasi hidupnya. Segala energi, waktu, materi, perhatian, disalurkan sebagai proyek bantuan tanpa batas waktu. Harga diri yang sejak kecil dijaga orang tua dengan nasihat dan didikan, tiba-tiba hilang seketika. Mereka membangun pasangan itu menjadi “rumah”, tempat untuk pulang, tempat bercerita, tempat berlindung, sekaligus tambatan harapan. Sayangnya, beberapa laki-laki menganggap hal tersebut bukan sebagai tanda cinta, melainkan gangguan. “Terlalu berisik”, “terlalu clingy”, “nggak ngerti kesibukan,” begitu kira-kira komentar mereka. Ironisnya, kehadiran yang dulu dicari-cari, justru menjadi beban yang ingin dihindari.

Tetapi mari kita jujur, laki-laki pun punya catatan dosanya sendiri. Laki-laki pun tidak luput dari drama yang sama, hanya bentuknya berbeda. Sebagian menjadikan pasangan sebagai “gudang emosional” di mana segala masalah pribadi bisa dititipkan tanpa batas, tapi begitu pasangannya butuh dukungan, mereka mendadak sibuk. Sebagian lagi punya hobi menjaga citra bak poster motivasi di ruang publik, tapi di balik pintu rumah mereka bisa meruntuhkan harga diri pasangannya dengan komentar yang tajam seperti silet. Fenomena ini membuat kita sadar, hubungan itu seperti panggung. Penonton melihat adegan manis, pasanganlah yang tahu di balik layar kadang ada kekacauan.

Banyak dari kita baik perempuan maupun laki-laki masuk ke hubungan dengan mindset bahwa, “pengorbanan adalah bukti cinta.” Padahal, pengorbanan yang sehat adalah yang dilakukan dengan kesadaran penuh, bukan karena takut kehilangan. Tapi realitanya, banyak orang rela mengorbankan diri seperti pemain cadangan yang berharap suatu saat dilirik pelatih, padahal pelatihnya tidak pernah menoleh.

Perempuan kadang rela mengubah diri sedemikian rupa agar diterima. Laki-laki pun tak jarang, mengorbankan mimpinya demi menyesuaikan dengan keinginan pasangan. Masalahnya, pengorbanan semacam ini seringkali tidak dihargai, bukan karena pasangan kejam, tapi karena sejak awal kita sendiri tidak memberi batasan. Inilah mengapa hubungan yang tidak sehat bisa bertahan begitu lama. Kita kerap kali memeluk luka sambil berharap luka itu berubah menjadi pelukan. Kita menoleransi kebohongan, kekerasan verbal, bahkan manipulasi emosional, hanya karena takut kembali sendiri. Kita menyamakan “setia” dengan “tidak pergi meski disakiti berulang kali.” Padahal ada perbedaan besar antara setia dan terjebak. Setia adalah memilih bertahan karena hubungan itu sehat dan saling mendukung. Terjebak adalah bertahan karena kita sudah terlalu takut membayangkan hidup tanpa pasangan meski pasangan itu justru sumber penderitaan.

Baik laki-laki maupun perempuan punya kecenderungan yang unik, menyusun narasi agar terlihat pihak yang paling menderita. Laki-laki yang meninggalkan sering merasa wajar karena menganggap pasangan “terlalu menuntut” atau “tidak lagi seperti dulu.” Perempuan yang ditinggalkan sering menanggap dirinya korban tunggal, tanpa mau melihat bahwa mungkin ia juga berperan dalam runtuhnya hubungan. Kita sering lupa bahwa dalam setiap kegagalan hubungan, jarang sekali ada pihak yang benar-benar suci. Ada salah, besar, atau kecil di kedua sisi. Sayangnya, ego membuat kita lebih nyaman menyalahkan daripada mengevaluasi diri sendiri.

Ini adalah tipe orang yang ada di kedua gender, terlihat sempurna di mata orang luar, tapi berbeda 180 derajat di mata pasangan. Mereka bisa menjadi “imam” di ruang publik atau “queen” di media sosial, tapi di rumah mereka lalai menjalankan peran sebagai pasangan yang saling menghormati. Lucunya, keluarga atau lingkungan sekitar sering memoles citra ini. Mereka menolak percaya bahwa orang yang mereka kagumi bisa bersikap buruk pada pasangannya. Hasilnya, korban sering terlihat seperti pembual, dan pelaku tetap bersinar di mata publik.

Hubungan yang sehat itu bukan lomba siapa paling berkorban atau siapa paling berkuasa. Itu adalah kesepakatan yang tak tertulis untuk saling menjaga diri. Laki-laki tidak merasa terancam ketika pasangannya berkembang, perempuan tidak merasa tersaingi ketika pasangannya sukses. Di hubungan yang dewasa, tidak ada mengemis perhatian, tidak ada yang membatasi mimpi, tidak ada yang merendahkan. Sebaliknya, ada dukungan, ada ruang tumbuh, ada pengakuan terhadap perbedaan. Pasangan yang tepat tidak hanya menjadi “rumah” untuk pulang, tapi juga “sekolah” untuk belajar.

Kita perlu jujur bahwa banyak dari kita lebih memilih tetap di hubungan yang buruk daripada kembali sendiri. Kita takut menghadapi kesunyian, padahal kesunyian sering lebih sehat daripada kebisingan yang menyakitkan. Kita takut memulai dari nol, padahal memulai dari nol dengan harga diri utuh lebih mudah daripada minus karena habis dikuras. Perempuan perlu berhenti menjadikan cinta sebagai satu-satunya pusat hidup. Laki-laki perlu berhenti menjadikan pasangan sebagai alat pemuas ego. Keduanya perlu belajar bahwa cinta tanpa logika hanyalah tiket sekali jalan menuju kehancuran mental.

Cinta bukanlah proyek amal sepihak, ia adalah kerja sama dua pihak untuk saling membahagiakan tanpa kehilangan diri masing-masing. Laki-laki yang baik tidak merasa tinggi dari pasangannya. Perempuan yang bijak, tidak perlu menggadaikan harga diri untuk membuktikan cinta. Keduanya tahu kapan harus memberi, kapan harus menjaga jarak, dan kapan harus pergi demi keselamatan jiwa. Kalau hubungan kita justru membuat kita merasa semakin kecil, semakin tidak berharga, dan semakin takut menjadi diri sendiri, itu bukan cinta, itu jebakan. Dan tidak ada kebanggan dalam bertahan di jebakan hanya demi terlihat setia, mari jatuh cinta secara sehat dengan menggunakan logika yang baik.