Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

orang-orang bugis
Salah satu foto di balik layar film dokumenter “Andi Oddang To Sessungriu: Kisah Penyalin Ilmu Bertahan di Tengah Era Digital” gararpan seniman Andi Musran. (Dok. Instagram.com/filmpalontara)

Orang-Orang Bugis, Dari Sudut Pandang Berbeda



Opu Andi Oddang To Sessungriu
(Budayawan)
______________________________________________________________________________________________________

Komplek Tomalebbi pada malam Jum’at 16 Pebruari 2023, Budayawan Andi Rahmat Munawar berkenan menganugerahkan karyanya yang bernas ; To Ugi. Buku ini menjawab penasaran kita yang selama ini takjub membaca Manusia Bugis, buah pikiran DR. C. Pelras (2006). Peretasan yang detil tentang Orang-Orang Bugis oleh cendekiawan berkebangsaan Eropa itu, membuka mata kita tentang frame ethnic bernama Bugis. Tentang orang-orang Bugis menurut pandangan seorang asing telah diuraikannya dengan teliti sehingga sebagian orang Bugis hari ini yang membacanya merasa mendapatkan pengetahuan baru tentang ihwalnya sendiri.

Sebagai seorang Bugis berkebangsaan Luwu yang terlahir di Tana Wajo dan tumbuh dewasa di Parepare, saya membaca Manusia Bugis sebagai suatu hasil telisikan orang Non Bugis yang mendeskripsikan penelitiannya tentang orang-orang Bugis dari sisi eksternal. Bias pikiran orang-orang Bugis yang ternampakkan pada tradisi dan cara hidupnya, dinyatakannya apa adanya. Namun sebagaimanapun detilnya mendeskripsikan profil Manusia Bugis dari segala sisi material yang total ditelitinya, Pelras tidak mampu mendalami Ke-Manusia-an Bugis dari kedalaman relung jiwa yang menjadi titik poros pemikiran berbudayanya. Dalam hal ini Budayawan Andi Rahmat Munawar dalam To Ugi-nya berhasil menyelami alam jiwa Ke-Bugis-an itu hingga membuka mutiara spirit dari lokan tebal yang melingkupinya kemudian menabalkannya sebagai ruh dalam suatu tulisan yang utuh tentang orang Bugis itu sendiri.

Tentunya dapat dimaklumi tentang kedua peneliti dari 2 poros yang berbeda ini. ChristianPelras adalah seorang cendekiawan dari Paris, sedang Andi Rahmat Munawar adalah seorang Bugis dari Wajo. Pada Manusia Bugis didapati uraian sejujur-jujurnya tentang orang Bugis yang tentunya menurut pandangan eksternal seorang Non Bugis yang berlandaskan materi seutuhnya. Sementara itu pada To Ugi didapati ungkapan internal tentang magma philosofi orang Bugis yang melandasi corak kebudayaannya dari seorang Bugis sendiri. Membaca kedua buku yang berjudul sama dengan perhatian yang serupa tapi tak sama ini, membuka prespektif kita dengan nyaris sempurna tentang orang Bugis yang sesungguhnya dari sisi materi dan spiritual. Menariknya, buku Manusia Bugis (ininnawa, cet. II ; 2021) dan To Ugi (sempugi, cet. I ; 2022) memiliki ukuran yang persis sama dengan ketebalan yang hampir sama pula. Menjadilah bugis ibarat sebuah gendang yang ditabuh pada kedua sisinya yang berbeda nada, mencipta irama yang menghentak seirama detak jantung orang-orang Bugis manapun pada belahan samudera manapun mereka berada dengan tetap bernama ; Bugis atau Ugi.

Terlepas dari kedua pengurai tentang Bugis di atas, perhatian kita dialihkan tentang warna berpikir lain oleh sebagian kita yang disebut orang bugis hari ini. Suatu ketika dalam tahun 2018 saya menghadiri Kongres Bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Hotel Sahid, Makassar. Kongres yang dihadiri oleh kebanyakan sosok yang saya kenal sebagai praktisi budaya lokal selaku peserta itu mendapat curahan materi oleh para Professor dan Doktor yang rata-rata berkebangsaan asing.

Para narasaumber itu rata-rata dapat berbahasa daerah dengan cukup baik menurut fokus penelitiannya masing-masing. Kebanyakan peserta yang terdiri dari guru-guru bahasa daerah dari Kabupaten/Kota Se-Sulawesi Selatan takjub dan merasa tersanjung. Betapa “hebatnya” bahasa daerah di Sulawesi Selatan ini sehingga orang-orang asing datang dari jauh untuk mempelajarinya. Riuh bergemuruhlah materi yang diantarkan para sarjana asing itu dengan tepuk tangan.

Namun berbeda halnya dengan sebagian peserta yang terdiri dari kalangan praktisi adat dan budaya. Tanpa mengurangi penghargaan atas jerih payah para sarjana asing yang meneliti bahasa daerah kita, rongga dada kami sesak penuh tanya. Andai saya tekun mempelajari dan meneliti Bahasa Inggris selama 25 tahun di London sana, secerdas apapun temuan yang kudapati, akankah guru-guru bahasa Inggris di London sana menjadikan saya narasumber seperti halnya disini ?.

Selanjutnya timbul pertanyaan lagi, mungkinkah mental kita hari ini sedemikian lekatnya ditempeli mental imperalis (imperior) sehingga cenderung larut “digurui” oleh orang-orang asing mengenai bahasa kita sendiri ?. Bukannya kita mengakui bahwa orang-orang asing itu lebih “pakar” tentang bahasa Bugis daripada orang-orang Bugis sendiri, melainkan kita sedang terpana dan melambung tinggi di awan-awan karena merasa “bahasa kita diakui”. Sementara sebagian diantara mereka para orang asing itu, menganggap bahwa bahasa Bugis ataupun bahasa lokal lainnya di Sulawesi Selatan benar-benar diambang kepunahan sehingga pantas untuk diceramahkan pada penutur aslinya.

Keterbukaan disertai toleransi menurut azas “sipakatau, sipakalebbi” yang ditanamkan sejak lahir pada orang-orang Bugis, menjadikannya tumbuh berkembang seiring hayatnya. Nilai yang tumbuh pada relung jiwa seorang Bugis menjadikannya terdidik menerima perbedaan, sekaligus menghargainya dengan atas nama tenggan rasa. Penerimaan dan penghargaan atas nilai-nilai luar yang memasukinya dengan mudah didapati sekiranya nilai-nilai luar itu memperlihatkan kepedulian dan perhatiannya. Maka dengan serta merta diberikannyalah segalanya, termasuk jiwanya sendiri. Itulah Bugis yang kadangkala harus diingatkan ; “aja’ muluwa manengngi” (janganlah kau muntahkan semua).

Olehnya itu sehingga Tociung Tongeng MaccaE dari Luwu menasehatkan pada La Manussa To Akkarangeng Datu SoppEng, bahwa ; “Aja’ mumacennimpeggang, riemme’ko matu’. Aja’to mamupaimpeggang, riluwako matu’” (jangan terlalu manis, nanti kau ditelan. Jangan juga terlalu pahit, nanti kau dimuntahkan).

Perlunya jati diri ditanamkan sebagai marwah Siri’ PessE yang menjadi akar tunggang kebudayaan Bugis, sangat perlu ditanamkan sehingga batang kebangsaannya mampu berkembang dengan proporsional (seimbang dan rasional) bersama dengan suku bangsa lainnya di dunia. Kenyataan yang dapat disaksikan disekitar kita hari ini, tak satupun orang Jawa yang meskipun lahir dan tinggal menetap di Sulawesi Selatan kemudian menamai anaknya dengan nama Bugis, misalnya ; La Baco’, La Beddu, Unding dan lainnya. Sebaliknya, berapa banyak orang Bugis yang menamai anaknya dengan nama Jawa, misalnya ; Sudirman, Suparman, Supratman, Ayu, Sulastri dan lainnya ?. Inilah contoh nyata yang memperlihatkan kita betapa rapuhnya akar tunggang kebudayaan Bugis sehingga perlu dipupuk dengan nutrisi yang berasal dari saripati tanahnya sendiri. Dihaturkan terima kasih kepada Budayawan Andi Rahmat Munawar atas karyanya ; To Ugi yang bernas. Ini suatu nutrisi yang Insya Allah menguatkan akar tunggang suku bangsa yang sesungguhnya besar ini.

Wallahualam Bissawab.