Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

pemilu 2024
Penulis Rusdianto Sudirman Dosen Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Parepare.

Koalisi Jegal Menjegal Jelang Pemilu 2024



Berita Baru, Kolom – Setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden yang akan mereka usung dalam pilpres 2024 mendatang peta koalisi sudah mulai dapat kita prediksi.

Setidaknya akan ada 3 atau 4 poros koalisi yang akan terbentuk nantinya. Namun tentu politik akan selalu dinamis, apalagi deklarasi capres belum tentu dapat mengusung calon presiden jika belum mencukupi presidential threshold yakni 20% kursi DPR.

Menurut hemat penulis paling tidak akan ada 4 poros koalisi yang dapat terbentuk , yang pertama poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang sudah deklarasi sejak awal yang beranggotakan Golkar, PAN , dan PPP (25,87% Kursi DPR), kemudian Poros kedua yang beranggotakan Nasdem, PKS, dan Demokrat (28,50 % kursi DPR), lalu poros ketiga yang beranggotakan Gerindra dan PKB (23,25% kursi DPR), dan poros keempat ada PDI Perjuangan yang menjadi satu-satunya partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres tanpa berkoalisi dengan partai lain dengan persentase perolehan kursi 22, 38% kursi DPR.

Namun poros koalisi tersebut diatas bisa saja mengerucut menjadi 3 poros atau bahkan 2 poros koalisi, tergantung kesepakatan dan kalkulasi politik masing-masing parpol.

Hal inilah yang penulis sebutkan sebagai praktek koalisi jegal menjegal, karena yang menjadi tujuan utamanya adalah kemenangan, tidak peduli kemenangan tersebut diperoleh dengan cara jujur dan adil ataukah kemenangan yang diperoleh melalui kecurangan dan kelicikan.

Padahal esensi dari pelaksanaan pemilu adalah pemenuhan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat agar dapat melahirkan transisi kekuasaan dengan cara yang bermartabat dan menjunjung nilai-nilai demokratis sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.

Skenario 4 Poros Koalisi

Jika Nasdem, Demokrat, dan PKS telah sepakat berkoalisi maka komposisi idealnya mereka akan memasangkan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudoyono (AHY).

Sosok king maker Surya Paloh dan SBY setidaknya sudah memiliki pengalaman yang cukup untuk merumuskan konsep pemenangan jika koalisi ini bisa terwujud.

Apalagi jika melihat hubungan emosional ketiga partai tersebut sudah terjaling sejak lama. PKS pun secara rasional tentu akan memilih poros koalisi yang dapat menampung kepentingan politik mereka.

Kecuali koalisi Gerindra dan PKB atau Koalisi KIB memberikan penawaran yang lebih rasional untuk kepentingan Partai PKS. Karena peluang berkoalisi dengan PDIP rasanya sulit tercapai jika melihat hubungan politik keduanya 10 tahun terakhir.

Kemudian koalisi yang digagas Golkar, PPP, dan PAN sampai hari ini belum menentukan siapa sosok yang akam mereka usung sebagai capres dan cawapres.

Sosok Airlangga Hartanto saat ini dinilai belum memiliki elektabilitas yang begitu kuat untuk di usung sebagai Capres jika dibandingan dengan nama-nama populer seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Erik Tohir, dan Khofifah Indar Parawansa.

Namun jika menggunakan perspektif demokratisasi partai politik, idealnya sebuah parpol memang wajib mengusung ketua umumnya sendiri. Karena akan menjadi kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi jika dalam kontestasi pemilu justru harus mengusung Capres dari luar partai atau bahkan mengusung kader Partai Politik lain.

Kondisi seperti itu bisa saja terjadi andaikan PDIP nantinya tidak mengusung Ganjar Pranowo. Peluang Ganjar di usung oleh partai lain sangat mungkin terjadi, dan poros Koalisi Golkar, PPP, dan PAN sangat memungkinkan memanfaatkan momentum untuk mengusung Ganjar Pranowo.

Begitupun dengan Ridwan Kamil, jika resmi bergabung sebagai kader partai Golkar maka besar peluangnya diusung baik sebagai Capres maupun Cawapres. Apalagi diberbagai kesempatan Ridwan Kamil menyatakan siap diusung meskipun hanya sebagai Cawapres.

Jadi nama-nama seperti Ganjar, Ridwan Kamil, Erik Tohir ataupun Khofifah Indar Parawansa sangat memungkinkan diusung oleh poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) ini. Namun sekali lagi politik itu dinamis, apapun bisa terjadi sampai saatnya tiba pendaftaran capres dan cawapres ke KPU.

Selanjutnya poros Gerindra dan PKB, poros koalisi ini sudah lama membangun komunikasi, dan menurut penulis kedua partai inilah yang bisa menjadi percontohan dalam demokratisasi partai politik di Indonesia yang tetap konsisten mengusung ketua umumnya masing-masing untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.

Basis pendukung kedua partai ini juga dikenal mempunyai kader yang militan, dan tentu ini menjadi modal utama sebuah partai jika semua kader disetiap jenjang kepengurusan solid untuk memperjuangkan Capres yang merupakan ketua umumnya sendiri. Kondisi berbeda jika yang diusung justru figur luar atau kader partai politik lain, militansi kader bisa saja tidak maksimal dan akhirnya koalisi yang terbangun hanyalah gerbong kosong.

Hanya mendapat tiket menjadi capres dan cawapres, akan tetapi kader diakar rumput bermanuver untuk memenangkan capres cawapres pilihannya masing-masing.

Kemudian PDIP yang merupakan satu-satunya partai politik yang bisa mengusung capres dan cawapres sendiri. Bahkan memasangkan duet Puan Maharani – Ganjar Pranowo ataupun sebaliknya sangat memungkinkan bagi PDIP.

Namun secara historis sangat sulit memenangkan pemilu presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain. Sehingga tentu PDIP sudah mempersiapkan strategi politik yang matang untuk kembali mempertahankan kekuasaan yang sudah dijalani selama 10 tahun terakhir.

Menurut penulis memaksakan mengusung Puan Maharani sebagai capres akan menjadi tantangan tersendiri bagi PDIP melihat elektabilas Puan dari berbagai lembaga survey hanya berada di 5 besar dibandingan nama populer lainnya.

Sehingga pilihan yang sangat rasional bagi PDIP yakni bergabung dengan poros koalisi lainnya. Apakah bergabung di KIB bersama Golkar, PPP, dan PAN atau bergabung dengan koalisi Gerindra dan PKB.

Karena berkoalisi dengan Nasdem, Demokrat, dan PKS rasa-rasanya sulit untuk diwujudkan melihat hubungan antara king maker masing-masing partai yakni Megawati, SBY, dan Surya Paloh yang akhir-akhir ini terlihat berseteru secara politik. Namun lagi-lagi dalam politik apapun bisa terjadi, yang abadi hanyalah kepentingan, hari ini lawan, besok bisa jadi kawan.

Skenario Pilpres 2 Putaran

Jika pada akhirnya ada 4 atau 3 poros koalisi yang terbentuk, maka skenario pilpres 2 putaran bisa saja didesain sejak awal. Disinilah praktek jegal menjegal capres tertentu kemungkinan akan terjadi.

Sehingga pada akhirnya akan ada pasangan capres dan cawapres yang tereliminasi pada pemilu presiden putaran pertama jika tidak ada pasangan capres dan cawapres memperoleh suara kemenangan 50% + 1 dan sebaran suaranya minimal 20% dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia.

Pada akhirnya poros koalisi yang capres dan cawapresnya tereliminasi akan bergabung ke poros koalisi yang akan bertarung di pilpres putaran kedua. Maka disinilah konsistensi dan komitmen partai koalisi dipertaruhkan, apakah tetap solid ataukah terbelah kedua kubu koalisi yang akan bertarung di pilpres putaran kedua.

Menurut penulis, Koalisi untuk menjegal capres tertentu sangat memungkinkan untuk terjadi. Setidaknya ada 2 nama yang berpotensi untuk dijegal, yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Kedua nama tersebut secara elektabilitas dan popularitas sangatlah berpeluang menjadi presiden, akan tetapi kedua punya masalah yang sama yakni partai politik.

Anies bukan kader partai politik, meski sudah di deklarasikan oleh Partai Nasdem posisinya rentan mendapatkan penolakan di Internal Partai ataupun dengan internal koalisi nantinya.

Sebaliknya Ganjar Pranowo merupakan kader militan PDIP akan tetapi tidak mendapatkan restu dari ketua umum untuk menjadi calon presiden karena ada putri ketua umum yang diutamakan.

Ganjar berpotensi tidak mendapat tiket untuk menjadi Capres jika masing-masing poros koalisi menutup pintu baginya, dan Anies Baswedan berpotensi di Jegal pada pilpres putaran kedua jika dia tidak mampu menang mutlak di pilpres putaran pertama.

Pada akhirnya koalisi jegal menjegal akan menjadi anomali dalam sistem pemilu Indonesia. Akar masalahnya adalah Presidensial Threshold yang mau tidak mau mewajibkan partai politik harus berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres.

Padahal secara konstitusional apabila partai politik sudah lolos menjadi peserta pemilu maka sudah dapat mengusung capres dan cawapresnya. Namun semua upaya hukum setiap partai politik untuk mengusung capres dan cawapresnya sudah ditutup rapat oleh Mahkamah Konstitusi dengan tetap menyatakan Presidential Threshold tetap konstitusioanal karena merupakan open legal policy pembentuk undang-undang.

Semoga saja pemilu 2024 berjalan jujur dan adil, agar dapat melahirkan pemimpin yang berintegritas dan mampu menjaga stabilitas pemerintahan sehingga semua program-program yang dilahirkan nantinya bermuara pada kesejahteraan rakyat sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945.

Penulis: Rusdianto Sudirman/ Dosen Program Studi Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Parepare.