Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

indonesia emas

Indonesia Emas 2045: Antara Janji Besar dan Bayang Cemas



Oleh: Naharuddin SR
Ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare


“Syubbanul yaumi rijaalul ghod” pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Ungkapan ini bukan sekadar syair indah, melainkan pesan yang terus bergema dari generasi ke generasi. Namun, benarkah kita sedang menyiapkan pemimpin masa depan yang tangguh? Ataukah justru kita sedang melahirkan generasi yang rapuh? Jalan menuju Indonesia Emas 2045 memang penuh janji, tapi sekaligus sarat keraguan: apakah kita benar-benar mampu mencapainya?

Pemerintah kerap melukis masa depan dengan tinta optimisme; bonus demografi, ekonomi digital, dan visi Indonesia menjadi kekuatan global. Namun, realitas sosial, suara generasi muda, serta analisis para akademisi sering kali membawa nada berbeda: pendidikan kita tertinggal, kemiskinan masih mencengkeram, korupsi tak kunjung reda, bahkan politik lebih sibuk mengurus kompromi dibandingkan visi jangka panjang. Maka lahirlah dua wajah: satu wajah penuh harapan, dan satu wajah lain yang menyimpan kecemasan.

Harapan itu nyata. Indonesia punya potensi luar biasa: demografi muda yang melimpah, infrastruktur yang terus dibangun, serta peluang ekonomi di era digital. Bappenas mencatat bahwa kita bisa keluar dari middle income trap bila pertumbuhan ekonomi mampu melampaui 6% per tahun. Inilah masa di mana syubbanul yaumi rijaalul ghod harus tampil, bukan hanya sebagai slogan, tapi sebagai kenyataan.

Namun, di balik optimisme itu, kegelisahan pun menyeruak. Skor PISA yang rendah memperlihatkan betapa kualitas pendidikan kita masih tertinggal. Banyak anak muda yang putus sekolah, guru yang berjuang dengan kesejahteraan minim, dan generasi yang terjebak dalam jerat judi online atau pernikahan dini. Pertanyaan pun muncul: apakah bonus demografi akan menjadi anugerah, atau justru kutukan?

Lebih jauh, kita juga menghadapi masalah struktural: kemiskinan yang masih tinggi, korupsi yang mengakar, budaya malas literasi yang melemahkan daya saing. Semua ini menimbulkan keraguan, apakah jalan emas yang kita impikan justru akan berubah menjadi jalan cemas.

Dalam fiqh, ada kaidah “Maa laa yatimmu al-waajib illa bihi fahuwa waajib” — sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib. Mencetak generasi emas adalah kewajiban bangsa. Dan karena itu, menata pendidikan, menjamin kesejahteraan guru, menjaga integritas politik, hingga melibatkan masyarakat adalah bagian dari kewajiban tersebut. Tanpa itu, janji 2045 hanya akan jadi retorika kosong.

Tantangan yang besar bukan alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk berinovasi dan berkolaborasi. Jika pemerintah, tenaga pendidik, dan masyarakat mampu bersinergi, maka beban berat ini bisa dipikul bersama.

Sayangnya, kolaborasi itu belum terwujud secara utuh. Pemerintah masih kerap berjalan sendiri, guru dibiarkan berjuang tanpa dukungan penuh, masyarakat pun sering abai. Padahal, mustahil melahirkan generasi emas bila tiga pilar ini tak saling bergandengan tangan.

Indonesia Emas 2045 adalah mimpi besar. Namun, ia bisa jadi fatamorgana bila hanya dibangun dengan janji, tanpa kerja nyata dan kolaborasi. Syubbanul yaumi rijaalul ghod memang benar adanya, tetapi mewujudkannya sangat sulit ketika tidak ada sinergi antara pemerintah, tenaga pendidik, dan masyarakat.

Di tengah harapan dan kecemasan ini, kita dihadapkan pada pilihan; apakah ingin dikenang sebagai generasi yang gagal memanfaatkan peluang emas, atau generasi yang dengan penuh kesungguhan mengubah cemas menjadi emas?

Optimisme itu perlu, tapi optimisme tanpa kerja sama hanyalah mimpi kosong. Maka mari kita jadikan kaidah fiqhi sebagai pegangan: “Apabila suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula dilakukan.” Karena itu, kolaborasi bukan pilihan, melainkan keniscayaan.

Kini, saatnya generasi muda bangkit, menata langkah, dan membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pewaris masa lalu, melainkan penentu masa depan. Harapan memang seringkali datang bersama keraguan, tetapi justru di situlah nilai perjuangan terletak.