
OPINI: Hak Interpelasi Lebih Terhormat, Daripada Pansos di Medsos
Oleh: Rusdianto Sudirman (Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare)
Dalam sistem pemerintahan daerah yang demokratis, hubungan antara kepala daerah dan DPRD bukanlah sekadar relasi administratif, melainkan hubungan politik yang saling mengimbangi (check and balance). Karena itu, ketika DPRD Kota Parepare mengusulkan penggunaan hak interpelasi terhadap Wali Kota Parepare atas dugaan penyimpangan prosedur dalam sejumlah kebijakan publik, langkah tersebut bukan semata gestur politik, tetapi bagian dari mekanisme konstitusional untuk menegakkan akuntabilitas pemerintahan daerah.
Isu yang mencuat bukan sepele. Pertama, mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diduga mengabaikan merit sistem, yaitu sistem berbasis kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Kedua, kebijakan penyelenggaraan event-event di Lapangan Andi Makkasau yang tiada henti, bahkan diduga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, membuka ruang kritik soal efisiensi penggunaan APBD dan asas kepentingan umum. Dua isu ini berkelindan dalam ranah hukum tata negara dan hukum pemerintahan daerah, karena menyentuh jantung persoalan: bagaimana kekuasaan dijalankan dan diawasi di tingkat lokal.
Dalam sistem hukum Indonesia, hak interpelasi merupakan instrumen pengawasan politik yang diberikan kepada DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan penting dan strategis yang berdampak luas pada masyarakat. Dasarnya diatur dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), yang menegaskan fungsi DPRD meliputi pembentukan perda, penganggaran, dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah serta kebijakan kepala daerah.
Lebih lanjut, Pasal 106 UU Pemda secara tegas mengatur bahwa DPRD memiliki tiga hak politik utama dalam menjalankan fungsi pengawasan yaitu Pertama, Hak Interpelasi untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan penting dan strategis. Kedua, Hak Angket untuk menyelidiki kebijakan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, Hak Menyatakan Pendapat sebagai bentuk akhir dari penggunaan dua hak sebelumnya, termasuk terhadap dugaan pelanggaran hukum oleh kepala daerah.
Artinya, interpelasi adalah tahap awal dari mekanisme kontrol politik yang konstitusional. Ia bukan sekadar protes, melainkan alat untuk memaksa transparansi dari eksekutif. DPRD tidak perlu menunggu adanya pelanggaran hukum, cukup bila kebijakan kepala daerah dinilai menyimpang dari asas pemerintahan yang baik (good governance), seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan umum.
Secara prosedural, hak interpelasi harus diajukan oleh paling sedikit seperempat dari jumlah anggota DPRD, sebagaimana diatur dalam Pasal 154 huruf a UU Pemda dan diperjelas melalui Peraturan DPRD tentang Tata Tertib. Usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD dengan memuat sekurang-kurangnya Pokok-pokok kebijakan yang akan dimintakan keterangan, Alasan pengajuan interpelasi, dan Nama-nama pengusul.
Selanjutnya, pimpinan DPRD wajib menindaklanjuti usulan tersebut dalam Rapat Paripurna untuk menentukan apakah usulan diterima atau tidak. Bila disetujui oleh lebih dari setengah anggota DPRD yang hadir, maka DPRD akan mengagendakan rapat interpelasi untuk mendengarkan penjelasan langsung dari wali kota.
Dari sini terlihat bahwa interpelasi bukan sekadar manuver politik, tetapi forum resmi yang diatur undang-undang untuk memastikan transparansi dan pertanggungjawaban kebijakan publik.
Salah satu substansi interpelasi DPRD Parepare adalah dugaan pelanggaran merit sistem dalam mutasi ASN. Merit sistem bukan sekadar prinsip administratif, tetapi fondasi konstitusional bagi birokrasi yang profesional. UU ASN menegaskan bahwa manajemen ASN harus berdasarkan pada prinsip keadilan, netralitas, dan kompetensi. Bila mutasi dilakukan tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan kompetensi, apalagi bermotif politik atau kedekatan personal, maka itu termasuk pelanggaran terhadap asas profesionalitas birokrasi negara.
Dalam konteks hukum tata negara, mutasi ASN yang menyimpang dari merit sistem berpotensi melanggar prinsip due process of administration proses hukum dalam penyelenggaraan administrasi negara. Mutasi yang tidak melalui dasar penilaian kinerja yang objektif, dapat dikategorikan sebagai tindakan maladministrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Selain itu, Pasal 73 ayat (2) UU ASN dengan tegas menyebutkan bahwa mutasi harus dilakukan “berdasarkan kebutuhan organisasi dan mempertimbangkan peta jabatan serta pola karier.” Jika mutasi justru menjadi alat politik untuk memperkuat loyalitas kepada kepala daerah, maka hal itu jelas menyalahi prinsip civil service neutrality, dan DPRD beralasan kuat untuk meminta klarifikasi melalui hak interpelasi.
Persoalan kedua yang mengemuka adalah penyelenggaraan event yang terus-menerus di Lapangan Andi Makkasau, yang dinilai tidak hanya mengganggu fungsi ruang publik tetapi juga menguntungkan kelompok tertentu. Dalam perspektif hukum pemerintahan daerah, kebijakan tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal 58 UU Pemda, yang mewajibkan kepala daerah melaksanakan asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, termasuk asas efisiensi, kepentingan umum, dan keterbukaan.
Jika benar terjadi pengulangan event yang membebani APBD atau dikelola tanpa transparansi, maka terdapat potensi pelanggaran terhadap prinsip efisiensi dan kepatuhan anggaran. DPRD berhak menelusuri siapa pelaksana kegiatan, bagaimana mekanisme pengadaan atau penunjukannya, serta apakah ada benturan kepentingan yang melibatkan pejabat daerah.
Dalam konteks tata kelola keuangan daerah, setiap kegiatan yang menggunakan fasilitas umum dan anggaran publik harus tunduk pada asas transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Bila kebijakan event lebih mengutamakan citra politik kepala daerah daripada kepentingan masyarakat, DPRD beralasan kuat menilai kebijakan itu tidak sejalan dengan semangat otonomi yang berpihak pada publik.
Legislator yang Lupa Punya Gigi, Ironisnya, sebelum hak interpelasi ini bergulir, publik Parepare sudah kerap disuguhi drama di media sosial, anggota DPRD yang begitu lantang berteriak di Facebook, menulis status berapi-api di Instagram Story, atau mengeluh soal kebijakan Wali kota di TikTok Live. Lucunya, mereka seperti lupa bahwa di tangan merekalah melekat tiga senjata konstitusional yakni hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Fenomena ini memperlihatkan betapa sebagian wakil rakyat lebih nyaman beropini ketimbang berfungsi. Mereka berteriak di ruang maya, padahal ruang formalnya tersedia di gedung paripurna. Mereka menagih akuntabilitas di kolom komentar, padahal bisa menuntutnya secara konstitusional melalui mekanisme yang sah.
Dalam demokrasi lokal, legislator yang kehilangan nyali politik sama berbahayanya dengan eksekutif yang kehilangan moral pemerintahan. Sebab, kekuasaan yang tak diawasi akan cenderung menyimpang, dan pengawasan yang hanya berbentuk keluhan daring hanyalah komedi politik belaka.
Maka, keputusan DPRD Parepare untuk beralih dari “teriak di medsos” menjadi “bertanya lewat interpelasi” patut diapresiasi meski agak terlambat.
Setidaknya, fungsi pengawasan kini kembali ke jalur konstitusional, bukan sekadar trending topic harian.
Hak interpelasi sering kali dipersepsikan sebagai “serangan politik” terhadap kepala daerah. Padahal, secara konstitusional, interpelasi adalah mekanisme pengawasan yang sah dan esensial dalam negara demokrasi. Ia menjadi “alarm” bagi kepala daerah agar tidak terjebak pada gaya kepemimpinan populistik tanpa akuntabilitas.
Dalam konteks Parepare, usulan interpelasi harus dipahami sebagai fungsi korektif DPRD, bukan semata perdebatan politik.
Jika dijalankan dengan itikad baik, forum interpelasi dapat membuka ruang dialog publik tentang arah kebijakan daerah, apakah Wali kota masih bekerja dalam koridor hukum dan kepentingan rakyat, atau mulai bergeser menjadi instrumen kepentingan pribadi dan kelompok.
Perlu diingat, Pasal 67 UU Pemda menegaskan kewajiban kepala daerah untuk “menjalankan kehidupan demokrasi, menegakkan etika, dan menaati seluruh peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, interpelasi yang didasari bukti kuat bukanlah bentuk perlawanan terhadap kepala daerah, melainkan pelaksanaan prinsip demokrasi substantif di tingkat lokal.
Usulan hak interpelasi DPRD Parepare harus dilihat sebagai momentum perbaikan tata kelola pemerintahan daerah. Ia mengingatkan bahwa otonomi daerah bukan kebebasan tanpa batas, melainkan amanat konstitusi untuk menghadirkan pemerintahan yang efektif, efisien, dan berpihak pada rakyat.
Mutasi ASN tanpa merit sistem adalah bentuk kemunduran birokrasi; penyelenggaraan event yang sarat kepentingan adalah bentuk pemborosan kebijakan. Keduanya hanya bisa dikoreksi melalui mekanisme demokratis seperti interpelasi.
Dan bagi anggota DPRD, semoga interpelasi ini menjadi pengingat bahwa suara rakyat tidak cukup diucapkan lewat status Facebook, tetapi diperjuangkan lewat paripurna dan hak interpelasi. Sebab, di sanalah letak kehormatan sejati wakil rakyat bukan di layar ponsel, tetapi di meja pengawasan konstitusional.
 
		 
						 
					 Rctiplus.com
 Rctiplus.com pewartanusantara.com
 pewartanusantara.com Jobnas.com
 Jobnas.com Serikatnews.com
 Serikatnews.com Serdadu.id
 Serdadu.id Beritautama.co
 Beritautama.co kalbarsatu.id
 kalbarsatu.id Kabarbaru.co
 Kabarbaru.co surau.co
 surau.co
 
			 
			 
			
