
Ekoteologi dalam Kata Mīzān: Membaca Ulang Keseimbangan Alam dari Perspektif Semantik Qur’ani
Oleh: Baso Pallawagau (Dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Alauddin Makassar)
Di tengah krisis lingkungan global yang semakin mengancam, dari perubahan iklim hingga degradasi hutan dan polusi air, manusia seolah kehilangan arah dalam menjaga keseimbangan kehidupan. Padahal, dalam Al-Qur’an, konsep keseimbangan atau mīzān telah lama diwahyukan sebagai prinsip dasar penciptaan alam dan pedoman etika ekologis bagi manusia.
Membaca ulang makna mīzān melalui pendekatan semantikQur’ani membuka jalan bagi kesadaran baru: bahwa menjaga alam bukan sekadar tugas ekologis, melainkan bagian dari ibadah dan manifestasi keimanan.
Secara etimologis, kata mīzān berasal dari akar wazana yang berarti “menimbang”, “menentukan kadar”, atau “mengukur secara proporsional”. Dalam bahasa Arab klasik, kata ini tidakhanya menunjuk pada alat timbang, tetapi juga pada prinsip keseimbangan, keadilan, dan keteraturan.
Al-Qur’an menggunakan kata mīzān dalam berbagai konteks, baik sosial maupun kosmik. Dalam Surah Ar-Rahman (55:7–9), Allah berfirman:
“Dan langit telah Dia tinggikan, dan Dia meletakkan mīzān(keseimbangan), agar kamu tidak melampaui batas dalam keseimbangan. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu merusak keseimbangan.”
Ayat ini menjadi fondasi teologis bagi konsep keseimbangan ekologis. Menurut al-Ṭabari dalam Jāmi‘ al-Bayān, mīzān tidakhanya bermakna timbangan fisik, tetapi juga simbol tatananuniversal yang Allah tetapkan agar segala ciptaan berjalan proporsional. Sementara Fakhruddin al-Rāzī dalam Mafātīḥ al-Ghaib menegaskan bahwa mīzān mencakup seluruh sistem hukum alam yang menjaga keteraturan bumi dan langit.
Dengan demikian, pelanggaran terhadap keseimbangan ekologis sejatinya merupakan pelanggaran terhadap hukum ilahi. Pendekatan ekoteologi memandang alam bukan sekadar sumberdaya, tetapi bagian dari tanda-tanda Tuhan yang menuntut penghormatan dan penjagaan.
Dalam pandangan ini, mīzānadalah simbol kesucian keteraturan ciptaan. Allah menciptakan segala sesuatu “bi qadar” (dengan ukuran yang tepat), sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Qamar (54:49):
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran yang telah ditetapkan.”
Maka, ketika manusia melampaui batas konsumsi, mengeksploitasi alam secara berlebihan, atau mengabaikandampak ekologis dari aktivitasnya, sesungguhnya ia sedang melakukan ṭughyān fī al-mīzān (pelanggaran terhadapkeseimbangan) yang diciptakan Allah.
Dalam pandangan SayyidQutb Fī Ẓilāl al-Qur’ān, ketidakseimbangan ekologis adalah cermin dari ketidakseimbangan spiritual manusia. Alam menjadi rusak karena manusia kehilangan kesadaran tauhid, memutus hubungan sakral antara dirinya dan ciptaan.
Konsep mīzān mengandung pesan moral yang dalam, manusia dituntut untuk berlaku adil bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam. Keadilan ekologis berarti memberi ruang bagi setiap makhluk untuk hidup sesuai fungsinya. Burung, air, tanah, dan pohon memiliki hak untuk lestari sebagaimana manusia memiliki hak untuk hidup.
DalamTafsīr al-Marāghī, ayat tentang mīzān ditafsirkan sebagai ajakan agar manusia menjaga keseimbangan dalam setiap bentuk interaksi, termasuk dengan lingkungan. Ekoteologi Qur’ani mengajarkan bahwa menjaga alam adalah ibadah. Menanam pohon, menghemat air, tidak membuang sampah sembarangan, dan melindungi satwa liar adalah bagian dari penegakan mīzān.
Dalam perspektif ini, etika lingkungan bukan sekadar wacana modern, melainkan warisan spiritual Islam yang telah tertulis dalam wahyu sejak 14 abad silam.
Membaca ulang mīzān secara semantik berarti menafsirkan ulang hubungan manusia dengan alam melalui bahasa Al-Qur’an. Bahasa wahyu tidak hanya mengajarkan akidah, tetapijuga menanamkan kesadaran ekologis. Ketika manusia memahami mīzān bukan sekadar alat timbang, tetapi sistem nilaiyang menuntun keseimbangan hidup, maka setiap tindakan ekologis menjadi refleksi tauhid yang hidup.
Dalam kerangka semantik Qur’ani, mīzān adalah kata yang hidup, ia berbicara tentang keadilan, keteraturan, dan tanggungjawab moral. Ia menuntut manusia untuk menimbang setiap perbuatan terhadap dampaknya bagi kehidupan bersama. Karena pada akhirnya, menjaga mīzān berarti menjaga rahmat Allah yang terwujud dalam bentuk bumi yang subur, air yang jernih, dan udara yang bersih.
Kata mīzān adalah seruan abadi bagi keseimbangan ekologis danspiritual.
Melalui pendekatan semantik Qur’ani, kita menemukan bahwa ekoteologi Islam bukanlah gagasan baru, tetapi warisan ilahi yang telah melekat dalam bahasa wahyu. Maka, menjaga keseimbangan alam bukan sekadar tugas ekologis, melainkan tanggung jawab teologis. Saat manusia menegakkan mīzān, ia sesungguhnya sedang menegakkan keadilan Tuhan di muka bumi dan itulah inti dari penghambaan sejati.