
Jika Pahlawan Menghadiahkan Kemerdekaan, Apa Warisan Kita untuk Generasi Mendatang?
Oleh: Prof Kyai Hannani (Rektor IAIN Parepare)
Kemerdekaan bangsa ini lahir dari air mata dan darah para pejuang. Delapan puluh tahun yang lalu, mereka menggadaikan usia mudanya, mengorbankan harta, bahkan nyawa, demi satu kata yang maha agung: merdeka. Tetapi mari kita jujur, kemerdekaan bukan titik akhir, melainkan titik awal. Sebab mempertahankan dan mengisinya adalah pekerjaan seumur hidup dan itu jauh lebih berat.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan menegaskan komitmen kebangsaan; persatuan sebagai syarat kedaulatan, kedaulatan sebagai syarat kesejahteraan, dan kesejahteraan sebagai syarat kemajuan. Inilah lingkaran kebajikan yang harus terus dijaga.
Komitmen yang Hadir dalam Angka
Hari ini, komitmen itu tidak lagi sebatas wacana. Ia menjelma dalam angka-angka RAPBN yang menyentuh langsung perut, otak, dan jiwa rakyat.
- Rp164,4 triliun untuk ketahanan pangan
John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936) menulis: “The government must intervene when the market fails.” (Pemerintah harus turun tangan ketika pasar gagal). Maksud Keynes sederhana bila mekanisme pasar tidak mampu melindungi rakyat, maka negara wajib hadir. Krisis pangan global akibat perubahan iklim dan perang antarnegara telah menaikkan harga beras dan jagung. Tanpa intervensi negara, petani kecil akan tercekik dan rakyat miskin terancam lapar. Dana Rp164,4 triliun bukan sekadar angka, melainkan pagar yang melindungi rakyat dari goncangan global.
- Rp. 335 triliun untuk makan bergizi gratis
Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) menegaskan “Development is freedom from hunger and deprivation” (Pembangunan adalah kebebasan dari kelaparan dan keterbelakangan). Kebebasan sejati tidak hanya bebas bicara, tapi juga bebas dari lapar. Data BPS 2024 menunjukkan anak-anak stunting masih mengintai pedesaan dan daerah miskin perkotaan. Anggaran Rp335 triliun adalah kunci agar anak-anak kita belajar dengan perut kenyang, bukan dengan rasa lapar. Inilah fondasi kemerdekaan generasi bebas dari kelaparan, bebas bermimpi setinggi langit.
- Rp. 757,8 triliun untuk pendidikan
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menulis “Education is the practice of freedom.” (Pendidikan adalah praktik pembebasan).
Namun, pendidikan Indonesia masih timpang. Anak di kota besar mudah mengakses teknologi, sementara anak di pelosok masih berjuang dengan buku lusuh. Anggaran Rp757,8 triliun adalah upaya agar praktik pembebasan itu merata—dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Setiap anak berhak atas kebebasan melalui pendidikan.
- Rp. 244 triliun untuk kesehatan
Miriam Budiardjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008) menuliskan “Negara kesejahteraan adalah negara yang hadir di meja makan rakyatnya.” Masih ada ibu hamil meninggal karena terlambat mendapatkan layanan medis, masih ada keluarga menjual sawah demi biaya operasi. Rp. 244 triliun adalah wujud negara yang hadir di meja makan keluarga menjamin gizi, layanan kesehatan, dan harapan hidup lebih panjang.
Persatuan, Kedaulatan, dan Harapan
Harold Laski dalam A Grammar of Politics (1925) menulis “Sovereignty is the final authority within the community,” (Kedaulatan adalah otoritas tertinggi dalam sebuah komunitas). Selama kita masih impor pangan, impor energi, bahkan impor garam, kita belum sepenuhnya berdaulat. Program Prabowo tentang kedaulatan pangan dan energi adalah jalan agar bangsa ini berdiri tegak di atas kakinya sendiri.
Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995) menulis “Economy grows on the foundation of trust,” (Ekonomi tumbuh di atas fondasi kepercayaan).
Namun kepercayaan rakyat kerap terkikis oleh korupsi, mafia impor, dan permainan elite. Hilirisasi tambang dan pembangunan desa adalah upaya mengembalikan kepercayaan: bahwa negara benar-benar bekerja untuk rakyatnya.
Pekerjaan Seumur Hidup
UNESCO dalam Culture: Future Frontiers (2015) menulis “Culture is not only a driver of development, it is also an enabler.” (Budaya bukan hanya pendorong pembangunan, tetapi juga pemungkin pembangunan itu sendiri). Di tengah derasnya globalisasi, anak muda kita mudah kehilangan jati diri. Jika budaya tidak dijaga, pembangunan hanya akan melahirkan masyarakat konsumtif, bukan masyarakat berkarakter. Karena itu, pembangunan ekonomi harus bersinergi dengan budaya, menanamkan gotong royong, memperkuat solidaritas, dan menolak inferioritas di hadapan bangsa lain.
Jangan Lagi Menunggu
Kemerdekaan adalah hadiah dari pengorbanan, tetapi mempertahankannya adalah pekerjaan seumur hidup. Presiden Prabowo telah menunjukkan komitmen nyata melalui kebijakan triliunan untuk pangan, gizi, pendidikan, kesehatan, dan kedaulatan energi. Kini giliran kita. Apakah kita masih akan menunggu? Atau kita akan berdiri, bekerja, dan bersatu?
Indonesia, jangan lagi menunggu. Saatnya kita maju.