Pelukan Terakhir Untuk Ibu
Pinrang – ”Malam itu, dia tidur sama saya. Dia minta dipeluk dan tidak mau lepas dengan saya. Pukul 22.00 Wita, dia pamit berangkat kerja. Tetapi subuh itu, anak saya sudah tidak ada.”
Darna tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Matanya berkaca-kaca, mengenang putrinya, Nirwana Selle (20), yang menjadi korban kecelakaan kerja meletusnya dua tungku di smelter PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada 22 Desember lalu.
Nirwana adalah anak keempat dari lima bersaudara. Selepas menuntaskan studi di jenjang SMK, dia enggan menalnjutkan pendidikan. Dia hanya ingin bekerja untuk meringankan beban ekonomi keluarga.
”Dia tidak mau kuliah, cuma mau kerja. Setelah dia dengar itu perusahaan buka, dia ngotot mau ke sana. Akhirnya saya antar lah dia,” kata Darna, saat ditemui di kediamannya, Desa Bunga, Kecamatan Mattiro Bulu, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Darna mengaku, setelah mengantar putrinya mendaftar kerja pada 2020 lalu, dia pulang. Tidak bisa bertahan lama di Morowali. Sebab, pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan. Dia adalah guru di SD 86 Mattirobulu, Pinrang.
Tetapi putrinya, Nirwana, tidak mau ikut pulang. Dia bertahan di Morowali untuk menunggu pengumuman kerja. Nirwana tinggal dengan ayah angkatnya selama satu tahun. Pada masa menunggu itu, Nirwana kerja apa saja untuk memenuhi kebutuhannya.
”Dulu dia 4 orang, tapi 3 temannya menyerah, cuma dia yang bertahan, masih terus menunggu pengumuman kerja. Di masa menunggu itu, semabarang dia kerjakan. Jual barang pecah belah, jualan kue, jual bakso, pokoknya dia tidak bisa diam. Itu satu tahun,” kata Darna.
Setelah mendapat pengumuman bahwa dia diterima kerja, Nirwana memutuskan tinggal di kos. Dia bertahan di sana selama 15 bulan, sebelum akhirnya tragedi pada Kamis subuh, 22 Desember itu tiba.
”Dia kerja di sana sudah 15 bulan. Jadi di sana sudah 2 tahun 3 bulan,” bebernya.
Nirwana merupakan operator crane. Mengangkat dan menurunkan material nikel dari satu tungku ke tungku yang lain. Saat itu, dia mendapat tugas ship malam, mulai pukul 24.00 Wita hingga pagi hari.
Sebelum berangkat kerja, dia selalu tidur lebih dulu. Malam itu, dia tidur bersama ibunya.
Dia minta dipeluk dan tidak mau berpisah. Pukul 22.00 Wita, Rabu, 21 Desember, dia berpamitan dengan ibunya untuk berangkat kerja.
”Kejadiannya itu subuh. Waktu itu dia masuk ship malam, jam 24.00 Wita, hari Kamis. Jadi jam 22.00 itu dia berangkat. Karena kosnya lumayan jauh dari tempat kerjanya. Ketika subuh, terjadilah kecelakaan itu, anak saya sudah tidak ada,” kata Darna.
Malam itu Darna tidak merasakan firasat apa-apa terkait anaknya. Dia juga tidak menaruh curiga. Dia hanya melihat gelagat putrinya yang sedikit berubah semenjak dia datang berkunjung ke sana.
Memang sejak Darna tiba di Morowali pada Jumat, 16 Desember sore, Nirwana langsung memeluk, mencium dan tidak mau lepas dari ibunya. Namun Darna menganggap gelagat itu hanya bagian dari ekspresi rindu semata.
”Kalau firasat tidak ada, tapi banyak ciri-cirinya. Dia agak berubah. Pas saya baru tiba, dia langsung lompat peluk saya. Dia cium saya, pokoknya tidak mau lepas. Saya bilang capek, tapi dia bilang rindu. Memang dia ramah, tapi jarang seperti itu,” jelasnya.
Bahkan sebelum Darna berkunjung ke Morowali, hampir setiap hari Nirwana menelepon, meminta ibunya berkunjung ke sana. Namun karena Darna masih mengajar dan aktivitas sekolah sedang ulangan, maka Darna tidak bisa berangkat saat itu.
”Sebelum saya ke sana itu dia selalu telepon. Ma, ke sini ki. Dia juga telepon bapaknya, Pak ke sini ki sama Mama ku. Rindu sekali ka. Cuma karena bapaknya sibuk, siswa ku ulangan, nilainya juga belum saya input, makanya saya selesaikan dulu,” kata dia.
Setelah pekerjaannya selesai, Darna meminta izin kepada kepala sekolah untuk mengunjungi Nirwana. Akhirnya, Jumat dini hari, 16 Desember, Darna berangkat. Dia tiba Jumat sore, dan langsung disambut putrinya.
Di sana, Darna mengaku selalu tidur dengan putrinya. Dua malam pertama selalu tidur malam penuh. Karena putrinya masuk ship pagi. Empat malam berikutnya, hanya setengah malam saja, karena putrinya masuk ship malam.
”Dua malam full itu tidur sama saya. Empat malam berikutnya itu cuma setengah malam, karena dia masuk ship malam dan ternyata itu kali terakhir saya ketemu dia,” bebernya.
Bahkan malam sebelum wafat, Nirwana meminta agar ibunya menghabiskan tahun dengan dia. Sehingga, Darna berencana menunda kepulangan sampai tanggal 4 Januari.
”Saya rencana pulang cepat, Tapi dia menolak, katanya nanti setelah tahun baru saja. Mau bakar-bakar ayam dulu. Akhirnya rencana saya pulang tanggal 4 Januari, karena tanggal 2 itu anak-anak sudah mulai sekolah. Tetapi ya begini, pulang lebih cepat,” terangnya.
Darna tidak menyangka pulang dengan kesedihan. Dia berangkat dari Morowali bersama empat pegawai perusahaan. Satu sopir, satu tenaga medis, satu tim keuangan dan satu lagi HRD. Dia pulang menggunakan ambulance, bersama peti mati putrinya.
Setibanya di Pinrang, dia disambut riuh tangis. Anak, saudara, tetangga, dan tentu saja suaminya, Selle. Bahkan Selle pun mengaku terpukul melihat kondisi puntrinya.
”Saya yang buka peti anak saya. Sedih sekali pak. Saya keluarkan itu cuma tulang, tidak ada lagi wajah anak saya. Saya angkat dia dari peti satu-satu. Saya masukkan ke kafan. Sebenarnya saya tidak kuat, tapi itu anak saya,” kata Selle.
Meski begitu, jenazah Nirwana tetap disemayamkan bersama peti matinya. ”Dia dimakamkan sama peti. Karena kondisinya memang sedih pak, lebih baik sama peti saja,” kata dia.