Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

We Listen And We Don't Judge Women
Ilustrasi perempuan. (Kompas.id)

We Listen And We Don’t Judge Women



Penulis: Nur Rahmadani
Aktivis Perempuan IAIN Parepare


Di era konstruksi sosial yang semakin berkembang, peran dan posisi perempuan dalam masyarakat kian hari menjadi sorotan karena perempuan harus selalu menjadi dambaan. Namun, acapkali perempuan dibebani tuntutan sosial harus ini dan itu sesuai dengan lingkungannya.

Why not, memberi kebebasan dan kemerdekaan untuk dirinya sendiri, jangan me-judge apa yang telah menjadi pilihannya.

Sejak awal sebelum menentukan pilihan, harus dan telah menyiapkan kesiapan untuk menanggung sebab-akibat dari keputusan yang diambilnya. Perempuan cukup didengarkan dan tidak menghakimi, di saat kala telah memilih jalan yang akan mereka tempuh

Saat ini, perempuan kerap dijadikan sebagai objek perbandingan baik di antara sesamanya begitu pun dengan laki-laki yang memandangnya. Apalagi, sering kali menjadi primadona dalam tataran masyarakat.

Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa etikabilitas perempuan di ukur dari cover atau sampulnya. Sering di cap jika berpenampilan dengan pakaian yang ketat, acapkali di anggap sebagai “perempuan penggoda” yang tidak mempunyai martabat.

Begitulah gambaran umum penilaian masyarakat yang berkutat pada 2 sisi kesimpulan. Kalau tidak putih berarti hitam.

Padahal kebebasan setiap individu tidak sepantasnya digunakan untuk menindas kebebasan orang lain. Kita tidak patut mengatur apa yang mereka lakukan jika mereka merasa nyaman dengan cara berpenampilan.

Saat mereka membuatnya nyaman, why? Perempuan harus melakukan hal yang membuatnya merasa tidak nyaman hanya untuk memenuhi tuntutan sosial. Maka sudah menjadi pilihannya, jangan memberikan penghakiman karena setiap perbedaan seyogyanya adalah keunikan.

Ada kalanya perempuan di judge dan dinilai berdasarkan pandangan yang sudah dipatok oleh norma sosial yang relatif berlaku. Seperti, perempuan yang memilih untuk mengejar karier atau bahkan yang memutuskan untuk tidak menikah sering kali dihujat habis-habisan dengan penilaian yang mengarah pada stigma atau stereotip tertentu.

Hal ini merupakan sedikit refleksi dari berbagai tirani mayoritas yang mempertahankan pola pikir masyarakat tentang identitas sosok perempuan.

Saat perempuan mandiri dalam mencari penghasilan dikatai kapitalis sementara yang bergantung pada laki-laki mendapat label matrealistis.

Tabir kemanusiaan seketika terhalang oleh akar stigma yang bercabang kuat. Begitu juga saat perempuan yang merokok tak tanggung-tanggung langsung dijudge sebagai makhluk yang tidak beres.

Padahal di masa penjajahan, perempuan yang merokok dianggap biasa-biasa saja. Mata kita terlalu sempit memandang hal yang demikian lumrah seperti itu.

Emangnya sejak kapan rokok jadi ukuran perilaku? Ada apa dengan stigma masyarakat kita hari ini. Apakah merdeka tak lain hanya kata rongsokan yang mengandung lelucon? Sedangkan penjajahan patriarki masih saja merajalela di sekitar kita.

Sebenarnya di manakah letak kemerdekaan itu di saat perempuan selalu dipaksa merintih di bawah pengingkaran atas haknya, apakah kelahiran perempuan telah di anugerahkan larangan untuk mengekspresikan jati diri masing-masing?

Saat sekarang ini, hal yang penting dilakukan sebagai individu atau bagian dari masyarakat yang sadar dan prihatin akan kondisi sosial yang mundur ialah meruntuhkan paradigma tersebut secara perlahan.

Sikap yang perlu kita dorong adalah “we listen and we don’t judge women”. Saat perempuan berbicara tentang pengalaman hidup, tantangan, dan harapannya.

Hal yang sebaiknya dilakukan adalah mendengarkan dengan penuh empati, bukan semata langsung memberi penilaian negatif tanpa mengetahui alasan sederhana dibalik jalan pilihannya.

Terlalu sempit mata kita memandang realitas seperti itu. Ketika perempuan melakukan hal tersebut setop judge mereka perempuan yang tidak baik. Stop bandingkan perempuan dengan laki-laki.

Sesama perempuan marilah saling mendukung dan merangkul, bukan malah saling menjatuhkan. Jika hal tersebut masih sulit untuk diterima maka tidak ada gunanya mengagungkan kalimat bahwa “perempuan itu lebih mengutamakan perasaan”, sedangkan faktanya sesama perempuan saling merendahkan dan mengucilkan perasaan satu sama lain.

Bukan berarti kita membenarkan semua perilaku dan tindakan perempuan. Akan tetapi yang lebih penting adalah memberi ruang bagi perempuan untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri tanpa dikejar-kejar oleh rasa takut akan celaan.

Dengan demikian, perempuan bisa merasakan kebebasan untuk bekerja, berkeluarga, atau tidak berkeluarga sesuai dengan apa yang mereka anggap terbaik untuknya.

Pada dasarnya sistem sosial kita telah memproklamirkan kebebasan bagi setiap individu untuk menentukan pilihan. Namun, hanya jika kebebasan itu tidak disalahgunakan untuk menindas orang lain. Ini artinya kebebasan sekalipun perlu dibatasi atas nama kebebasan, sebab kebebasan tanpa keadilan adalah tirani, sedangkan keadilan tanpa kebebasan adalah perbudakan.

Begitu perempuan telah mempergunakan hak sebagaimana mestinya untuk mewujudkan masyarakat pluralis diperlukan pengakuan akan kebebasan perempuan oleh masyarakat sebagai kontekstualisasi dari keadilan sosial.

Kita telah hidup di zaman yang mengutamakan keadilan dan kesetaraan. Maka dari itu, sekiranya penting bagi kita agar dapat menjunjung tinggi asas kemanusiaan, serta tidak mudah menghakimi, karena perempuan juga berhak berekspresi tanpa adanya tekanan sosial yang mengikat.

We listen and we don’t judge adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih inklusif dan emansipatif. Hargailah perempuan dalam memutuskan apa yang baik untuknya agar dapat berdamai dengan dirinya sendiri, bukan untuk memenuhi semua perkataan masyarakat terhadap dirinya. Akuilah kita perempuan juga manusia.

“We listen and we don’t judge women”