Wawancara Imajiner B.J. Habibie: Kota Kecil dengan Mimpi Besar
Penulis: Mas’ud Muhammadiah
(Pengurus IKM Parepare / Dosen Universitas Bosowa)
Sore itu, langit Parepare berwarna jingga keemasan. Saya berkesempatan duduk berhadapan dengan Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, putra terbaik kota Parepare yang pernah menjabat sebagai Presiden ketiga Republik Indonesia. Meski usianya sudah senja, sorot mata beliau masih tajam, dan pikirannya tetap tajam seperti dulu.
“Apa yang membuat Bapak kembali ke Parepare hari ini?” saya membuka percakapan.
Pak Habibie tersenyum, “Saya selalu kembali ke sini. Ini tanah kelahiran saya, akar saya. Setiap kali saya di sini, saya melihat perubahan. Ada kemajuan, tapi juga ada tantangan.”
Saya mengangguk, lalu melanjutkan, “Sebagai putra daerah yang telah melihat dunia, bagaimana pandangan Bapak tentang perkembangan Parepare saat ini?”
“Parepare itu seperti permata yang belum sepenuhnya diasah,” ujar Pak Habibie. “Ada potensi besar, tapi juga ada kelemahan yang harus kita atasi bersama.”
Beliau lalu mulai menguraikan pandangannya tentang kelemahan pembangunan Parepare saat ini: “Pertama, infrastruktur. Meski ada perbaikan, tapi masih jauh dari cukup. Pelabuhan kita, yang dulu jadi urat nadi perdagangan, belum optimal. Jalan-jalan masih sempit, sistem drainase kurang baik. Saat hujan lebat, banjir masih jadi masalah di beberapa tempat.”
Saya mencatat setiap kata dengan seksama, sementara Pak Habibie melanjutkan: “Kedua, pendidikan. Kualitas pendidikan kita masih perlu banyak perbaikan. Saya ingat dulu, sekolah di sini memberi saya fondasi yang kuat untuk belajar di Jerman. Tapi sekarang? Kita perlu lebih banyak guru berkualitas, fasilitas yang memadai, dan kurikulum yang relevan dengan perkembangan zaman.”
“Lalu bagaimana dengan ekonomi, Pak?” saya bertanya. “Nah, itu masalah ketiga,” jawab Pak Habibie. “Ekonomi Parepare masih terlalu bergantung pada sektor tradisional. Perdagangan memang penting, tapi kita perlu diversifikasi. Industri kreatif, teknologi informasi, pariwisata berbasis budaya – ini semua belum dikembangkan secara optimal.”
Beliau berhenti sejenak, meneguk secangkir kopi yang disajikan. Lalu melanjutkan: “Yang keempat, tata kota. Parepare berkembang tanpa perencanaan yang matang. Banyak bangunan tua bernilai sejarah yang tidak terawat. Ruang terbuka hijau kurang. Ini bukan hanya soal estetika, tapi juga kualitas hidup warga.”
“Kelima, dan ini mungkin yang paling penting, adalah mentalitas. Banyak anak muda Parepare yang lebih memilih merantau ke kota besar. Mereka tidak melihat peluang di kota kelahiran mereka sendiri. Ini brain drain yang harus kita hentikan.”
Saya mengangguk setuju. “Lalu bagaimana menurut Bapak cara mengembangkan Parepare ke depan?”
Mata Pak Habibie berbinar. “Ah, ini bagian yang menarik. Kita harus punya visi besar, tapi juga langkah-langkah konkret.”
“Pertama, soal infrastruktur. Kita harus modernisasi pelabuhan, jadikan Parepare sebagai pusat logistik untuk Indonesia Timur. Bangun jalan lingkar, perbaiki sistem drainase. Dan yang penting, bangun bandara. Konektivitas adalah kunci di era global ini.”
Saya mencatat dengan antusias, sambil membayangkan betapa indahnya jika Parepare ini dikelilingi transportasi kereta gantung, akan menjadi sarana transportasi vital masyarakat dan objek wisata kota, ah itu hanya pikiran liar saya saja, sementara Pak Habibie melanjutkan:
“Kedua, pendidikan. Kita perlu mendirikan pusat-pusat keunggulan. Misalnya, sekolah kejuruan berbasis teknologi maritim. Atau akademi desain dan ekonomi kreatif. Buat Parepare jadi magnet bagi anak-anak muda berbakat dari seluruh Indonesia Timur.”
“Bagaimana dengan perguruan tinggi, Pak?” saya bertanya.
“Tentu! Kita bisa mendirikan universitas fokus pada teknologi dan inovasi. Bayangkan, ‘Institut Teknologi Parepare’. Kerjasama dengan universitas top dunia, hadirkan profesor-profesor hebat. Buat riset-riset yang relevan dengan kebutuhan lokal tapi berdampak global.”
Beliau melanjutkan, “Ketiga, ekonomi. Kita perlu menciptakan ekosistem yang mendukung start-up dan industri kreatif. Bangun inkubator bisnis, berikan insentif pajak. Kembangkan pariwisata berbasis sejarah dan budaya. Parepare punya banyak cerita menarik, dari era kerajaan hingga masa kolonial. Ini bisa jadi daya tarik unik.”
“Untuk tata kota, kita perlu masterplan yang komprehensif. Revitalisasi bangunan bersejarah, tambah ruang terbuka hijau. Buat Parepare jadi ‘smart city’. Gunakan teknologi untuk atasi masalah perkotaan, dari kemacetan hingga pengelolaan sampah.”
Pak Habibie berhenti sejenak, matanya menerawang jauh. “Yang terakhir, dan mungkin yang terpenting, adalah membangun mentalitas. Kita perlu menanamkan rasa bangga pada anak-anak muda Parepare. Beri mereka inspirasi, tunjukkan bahwa mereka bisa sukses di kota kelahiran mereka sendiri.”
“Caranya bagaimana, Pak?” saya bertanya penasaran. “Buat program mentoring, hadirkan tokoh-tokoh sukses kelahiran Parepare untuk berbagi pengalaman. Adakan festival inovasi tahunan, beri penghargaan pada ide-ide brilian. Buat mereka merasa bahwa di Parepare, mimpi mereka bisa jadi kenyataan.”
Saya mengangguk setuju. “Itu semua ide-ide brilian, Pak. Tapi tentunya ada tantangan dalam implementasinya?”
Pak Habibie tersenyum lagi, “Tentu saja ada. Pertama, pendanaan. Pembangunan butuh dana besar. Tapi ini bisa di atasi dengan kerjasama pemerintah dan swasta, juga dengan menggalang investasi dari luar.”
“Kedua, resistensi terhadap perubahan. Selalu ada pihak yang nyaman dengan status quo. Di sinilah pentingnya komunikasi dan edukasi masyarakat.”
“Ketiga, konsistensi. Pembangunan butuh waktu, sementara pemimpin berganti. Kita perlu memastikan visi ini diteruskan, terlepas dari siapa yang memimpin.”
Saya mengangguk, mencatat setiap kata dengan seksama. “Lalu, pesan apa yang ingin Bapak sampaikan untuk para pemimpin dan masyarakat Parepare?”
Pak Habibie terdiam sejenak, matanya menerawang jauh. “Saya ingin mereka ingat bahwa Parepare punya sejarah besar. Kota ini pernah jadi pusat perdagangan penting. Artinya, DNA kejayaan itu ada dalam darah kita.”
“Tapi jangan terpaku pada masa lalu. Gunakan itu sebagai inspirasi untuk menatap masa depan. Jangan takut bermimpi besar. Saya dulu bermimpi membangun industri pesawat terbang di negara yang bahkan belum punya industri mobil. Banyak yang menertawakan. Tapi lihat hasilnya sekarang.”
“Untuk masyarakat Parepare, saya ingin mereka bangga dengan kota mereka. Tapi kebanggaan saja tidak cukup. Harus ada aksi nyata. Mulai dari hal-hal kecil: jaga kebersihan, patuhi aturan, dukung produk lokal. Perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil.”
“Dan yang terpenting, jangan pernah berhenti belajar dan berinovasi. Dunia berubah sangat cepat. Yang hari ini relevan, besok mungkin sudah usang. Karena itu, pendidikan dan inovasi harus jadi prioritas utama.”
Saya mengangguk takzim. “Terakhir, Pak. Jika Bapak bisa melihat Parepare 20 tahun ke depan, seperti apa kota ini di mata Bapak?”
Pak Habibie tersenyum lebar. “Saya melihat Parepare sebagai ‘smart city’ yang menjadi contoh bagi kota-kota kecil lain di Indonesia. Pelabuhan dan bandaranya sibuk, menghubungkan Sulawesi dengan dunia. Universitasnya menjadi tujuan mahasiswa dari seluruh Asia Tenggara. Start-up teknologinya melahirkan inovasi-inovasi yang mengubah dunia.”
“Tapi di tengah kemajuan itu, Parepare tetap mempertahankan karakternya. Warung-warung kopi yang jadi ciri khas kota ini tetap ada, jadi tempat orang bertukar ide. Pantai-pantainya bersih, jadi tempat keluarga bersantai di akhir pekan. Bangunan-bangunan bersejarahnya terawat baik, mengingatkan pada kejayaan masa lalu.”
“Yang terpenting, saya melihat wajah-wajah bahagia. Anak-anak muda yang bangga tinggal di kota kelahiran mereka. Orang tua yang tenang karena anak-anaknya punya masa depan cerah tanpa harus merantau jauh. Parepare menjadi bukti bahwa kota kecil pun bisa maju dan sejahtera, tanpa kehilangan jati dirinya.”
Pak Habibie menghela napas panjang. “Itu mimpi saya untuk Parepare. Dan saya yakin, dengan kerja keras dan gotong royong, mimpi itu bisa jadi kenyataan.”
Saya terdiam, terpesona oleh visi yang digambarkan. Langit Parepare kini telah gelap, bertaburan bintang. Tapi di mata saya, masa depan kota ini justru terlihat semakin terang. Wawancara itu pun berakhir, tapi inspirasi yang ditinggalkan Pak Habibie masih terasa hangat.
Saya yakin, jika setiap warga Parepare bisa melihat potensi kota ini seperti yang beliau lihat, tak ada yang tak mungkin. Parepare, si kota kecil dengan mimpi besar, siap melangkah mantap menuju masa depan yang gemilang. Pilkada tinggal menghitung hari.
Salama’ ki’ tapada salama’.