
Reformasi: Rezim Kita Hanya Berganti Sampul
Penulis: Ahmad SM*
Kolumnis, Peneliti di Social Movement Institute (SMI)
Pada Rabu, 21 Mei 2025, gerakan Reformasi genap berusia 27 tahun. Salah satu tuntutan Reformasi adalah penghapusan dwifungsi ABRI—kini TNI—dengan mengembalikan tentara ke barak militer. Waktu berjalan, tapi reformasi kembali ke titik nol. Demikian bunyi laporan Majalah TEMPO edisi 21 Mei 2025.
Pada 27 tahun silam, ada 6 tuntutan yang dialamatkan pada senjakala rezim Soeharto, antara lain: 1. Adili Suharto dan kroninya; 2 Amandemen UUD 1945; 3 Penghapusan Dwifungsi ABRI; 4. Peningkatan kesejahteraan rakyat dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya; 5. Penegakkan supremasi hukum; 6. Pemerintahan yang bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Kini, 6 tuntutan reformasi tersebut rupanya masih sekadar harapan. Dari 6 poin tuntutan, beberapa poin semakin memburuk. Selama 27 tahun rakyat Indonesia mengira babak baru dimulai, ternyata hal ini tak ubahnya prank reformasi. Kala kita membuka lembaran demi lembaran dua dekade lebih ini, sejatinya hanya berganti sampul, sedangkan isinya masih karangan lama, ditulis oleh tangan-tangan yang sama, dengan tinta kuasa yang tak berbeda.
Menurut Perupadata, pada tahun 2018, sebesar 73,6% rakyat Indonesia yakin tuntutan reformasi akan tercapai. Angka ini menunjukkan optimisme yang indah. Namun tahun 2025, angka tersebut merosot tajam menjadi 46,6%. Sebagian besar rakyat harus menghela napas daripada meneriakkan harapan. Mengapa? Sebab demokrasi yang ditandai dengan era reformasi, tinggal jargon kosong. Kendati secara historis Pak Harto berhasil diturunkan, namun kekuasaannya tak pernah benar-benar hilang, ia hanya berganti kulit.
Pasca reformasi, partai-partai tumbuh bak cendawan di musim hujan, atau lebih tepatnya seperti cendawan yang tumbuh di ruang lembap tanpa cahaya. Semangatnya bukan keberagaman suara, namun saling berebut pengeras suara. Politik kita bukan demokrasi subtansial, tetapi oligarki berkostum demokratis. Sedangkan rakyat, sekadar penonton yang bersorak lima tahun sekali.
Reformasi: Enam Tuntutan, Nol Perubahan
Reformasi 1998 merupakan tonggak sejarah perjuangan rakyat Indonesia untuk keluar dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Gelombang protes dan tekanan rakyat memuncak dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto, membuka jalan bagi demokratisasi, kebebasan pers, supremasi hukum, dan desentralisasi. Namun, setelah lebih dari dua dekade, amanat reformasi telah dikhianati. Pertama, secara formal, Indonesia masih negara demokrasi, tetapi secara substansial kita menyaksikan kemunduran serius. Ruang kebebasan sipil menyempit, represi terhadap demonstran dan jurnalis makin sering terjadi, dan pemilu justru dimanipulasi melalui kooptasi elite, penyalahgunaan aparat negara, dan pembajakan institusi.
Kedua, pemberantasan KKN merajalela. Sejak KPK dilemahkan melalui revisi UU KPK pada 2019, korupsi makin menguat. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia anjlok menjadi skor 34 pada tahun 2023, terendah dalam satu dekade terakhir. Ketiga, prinsip supremasi hukum kini dibalik menjadi legalisme otokrasi. Hukum dijadikan instrumen untuk mengamankan kekuasaan, bukan menjamin keadilan. Penegakan hukum kerap digunakan untuk membungkam oposisi dan kelompok kritis, sementara pelanggaran oleh elite kekuasaan sering kali dibiarkan tanpa sanksi. Amnesty International mencatat bahwa sepanjang 2023–2024, setidaknya 344 orang ditangkap dalam aksi unjuk rasa, 152 di antaranya mengalami kekerasan fisik, dan 17 menjadi korban gas air mata. Selain itu, terjadi 123 kasus kekerasan dan 288 ancaman digital terhadap jurnalis dan aktivis.
Keempat, amanat untuk menegakkan HAM dan mengadili pelaku pelanggaran berat tak kunjung terwujud. Bagaimana tidak, Presidennya saja seorang pelanggar HAM berat. Ditambah deretan tragedi 1965, penculikan aktivis 1997/98, kasus Wamena, Wasior, Paniai, hingga pembunuhan Munir, semuanya masih diliputi kabut impunitas. Laporan tahunan KontraS mencatat bahwa sepanjang Desember 2023 hingga November 2024 terjadi 45 kasus pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) dengan 47 korban jiwa, dan 24 di antaranya dibunuh dalam kondisi tidak melawan.
Kelima, militer kembali ke ruang sipil. Fakta yang sejatinya sudah lama bergulir ialah militer dan polisi kembali aktif terlibat dalam ruang sipil dan politik. Hari-hari ini tentara beralih fungsi dari yang semula di barak menjadi masuk ke sekolah untuk membagikan Makanan Bergizi Gratis (MBG), mengambil alih kerja para petani dengan ikut bertani, dan banyak jabatan sipil diduduki oleh purnawirawan. Hal tersebut membuat peran TNI-Polri dalam pengamanan sosial hingga politik semakin meningkat. Walhasil, mendegradasi supremasi sipil.
Refleksi Reformasi: Ganti Isi, Bukan Sampul
Tak bisa dipungkiri bahwa yang kini duduk di kursi empuk kekuasaan adalah anak cucu ideologis rezim yang dulu kita tolak. Sebagian besar justru lahir dari rahim kekuasaan lama, dididik oleh sistem yang anti-kritik, dan kini menjelma juru bicara jargon kosong “kemajuan”.
Reformasi sejatinya tak cukup mengganti orang, apalagi sekadar mengubah jargon. Kita butuh mengganti sistem yang melanggengkan ketidakadilan dan kejahatan yang menjadi rutinitas. Kita perlu lebih dari sekadar demokrasi simbolik—pesta lima tahunan. Kita perlu keberanian menulis ulang narasi, bukan sekadar mengganti narrator. Ditambah hari ini penguasa hendak menulis ulang sejarah dan roman-romannya akan menghapus sejarah kelam dan berdarah dari kekuasaan yang menindas.
Kita harus jujur: Pertama, kita gagal mengawal reformasi. Kedua, dosa terbesar kita sebagai bangsa adalah—kita mudah lupa. Kita lupa bahwa reformasi bukan sekadar transisi kekuasaan, tapi janji perubahan.
Dan karena lupa, kita pun puas dengan perubahan yang sekadar mengganti sampul. Kita ganti sampul, namun membaca naskah lama. Kita buang Soeharto, tapi kita pelihara praktik busuknya. Kita merayakan reformasi bak arisan: datang, senyum, berfoto, lalu pulang tanpa tanggung jawab.
Kini, seolah sejarah hendak menghukum kita, mengembalikan kita pada kelam Orde Baru. Tapi kegagalan bukan akhir, selama kita masih percaya pada keadilan, kebenaran, suara rakyat, dan masa depan yang lebih sejahtera untuk semua, maka perjuangan belum usai. Namun, jika kita puas dengan rezim yang hanya berganti sampul, maka jangan salahkan sejarah yang mengulang bab buruknya, lagi, dan lagi.