Politik itu Luka Ibarat Menertawakan Diri Sendiri
Penulis: Ibrah La Iman
Angin dari barat dikabarkan menggetarkan oleh seseorang yang berada di balik layar kaca. Berita disebarkan oleh seorang perempuan tanggung berambut sedikit merah. Sebelumnya ia pertanyakan berita perihal ‘peninjauan kembali’ sembari juga menata ulang make up sederhana di wajahnya.
Usai memperhatikan dengan seksama, menjelang senja di bulan Agustus ‘Peringatan Darurat’ dirinya kabarkan kepada khalayak. Angin barat membawa informasi itu sampai ke timur. Dalam hitungan detik warga mendiskusikannya.
Sebuah penyampaian dengan latar biru menyerupai dentang peringatan di layar tabung televisi yang dahulu tidak semua orang di kampung memilikinya. Tapi tetap riuh dari kolong rumah ke kolong rumah orang-orang bercerita mulut ke mulut. Beberapa waktu ini pun sama, gawai ke gawai, caption to caption, hingga pengamat ke pengamat.
Dari sekian hati serta proses penghayatannya, barangkali saya termasuk salah satunya. Membicarakan hal yang mengundang perhatian. Ketika pandangan yang menurutku dibuat misterius dengan pesan gerakan tersebut pertama kali saya simak, kiriman dari kawan pergerakan itu spontan saya tersenyum dan sedikit tertawa.
Bila pada beberapa hal kita kadang acuh, saya bersyukur dalam politik kita sentiasa bertemu bahkan tak jarang berdialektika. Keadaan yang bagi saya sungguh menyenangkan untuk membuat kita berada pada roda komedi kehidupan. Adegan per adegan bisa mendebarkan sekaligus membuat tertawa dalm waktu bersamaan.
Pada setiap kita membincangkan politik, selalu tak jauh dugaan saya soal siasat segelintir orang yang sedang mendesain sesuatu untuk tujuan tertentu. Tujuan itu biasa kita curiga dengan menyebutnya ‘kekuasaan’, yang sungguh juga ada pada setiap diri anak bangsa.
Kita tidak memerlukan apapun kecuali kebersamaan. Atas nama itulah kita lupa bahwa andil kita walau serupa kerikil kecil mempunyai peran. Keberadaan kita tidak pernah cukup menyediakan jawaban tentang siapa dan mengapa di balik semua ini. Karena barangkali kita sendiri merupakan bagian terkecil yang bertanggung jawab atas lahirnya keadaan sedemikian. Namun bukan berarti kita tidak bisa jua menyelenggarakan ‘peninjauan ulang’ atas sikap kita.
Selalu ada yang tidak pernah bisa kita terangkan, selalu ada yang luput untuk dibicarakan. Dan selalu ada perasaan yang detakannya dikubur jauh ke palung terdalam menjadi relung tak bernama. Sungguh di sekitar kita atau bahkan diri kita sendiripun telah melakukan hal yang sama seperti ‘Raja Jawa’ itu. Kita lupa atau sengaja lupa, itu yang membuat kita semakin menyerupainya.
Lantas bagaimana kita akhirnya bisa bersikap atas keadaan yang lucu ini. Sungguh tertawa barangkali tidak hanya untuk merespon hal-hal yang mengocok isi perut tapi juga peristiwa komedi yang mengoyak-oyak isi hati.
Tertawalah kawan, selama hanya itu yang bisa engkau lakukan, tabe’.
Toko Buku Interaksi
Parepare, 22 Agustus 2024