Politik itu Luka Ibarat Badai di Laut
Penulis: Ibrah La Iman
Laut adalah rumah badai. Ungkapan itu biasanya akrab di telinga orang yang beraktivitas atau sekedar pernah akrab dengan laut. Nelayan, masyarakat pesisir, dan bajak laut percaya perihal kehidupan di laut lebih sangat misterius, dramatis, juga fantastis. Ada begitu banyak hal yang tak dapat di perkirakan saat berada di lautan—namun pun demikian, laut tetap menjadi bentang samudera kehidupan terluas di jagad raya.
Beberapa fenomena tentang suatu kejadian di tengah samudera ada yang terkabarkan, walau lebih banyak yang hanya menjadi cerita dan perlahan menggelinding mendekati mitos. Sebagian dari kisah yang bernasib baik dapat kita nikmati sebagai adegan film. Diantaranya bisa kita simak pada gambar hidup Pirates of the Caribbean, Aquaman, Atlantis the Lost Empire, Sinbad, Life of Pi, The Abyss, Titanic, In the Heart of the Sea, hingga sekuel Finding Nemo.
Nasib berbeda dengan cerita yang tak jelas keberadaannya atau samar-samar juga tak familiar. Mereka seolah begitu saja tenggelam di kedalaman dan kelapangan samudera yang tak bertepi. Salah satunya, ada sebuah kisah yang tak banyak tersebar, penuturan seorang tua di sebuah kampung yang juga bernama ‘Laut’. Bukan berarti kampung itu lebih laut dari laut karena namanya sama, tapi setelah menyimak pemaparan Kakek Sulo, anggapan sedemikian itu bisa saja benar.
Pada suatu hari di negeri bernama Bitara, Laut menjadi makhluk yang hidup dan dapat berbicara. Ia bernafas, tenang, dan ramah. Laut membawa dirinya berpindah dari satu lapisan Langit ke lapisan yang lainnya. Bulan, Bintang, dan makhluk selainnya menyenangi keberadaan Laut yang baik. Namun ketika tiba di atas lapisan tertinggi, Laut bersua dengan Matahari. Terik dari Matahari berusaha Laut tahan dengan senyuman.
Namun hal itu tak berlangsung lama, Laut merasakan sinar panas menyelimutinya. Seolah Matahari berupaya menyedot sebagian dari dirinya. Nafasnya terengah-engah dan ketenangannya terganggu. Laut akhirnya berontak, dari dalam dirinya ia menebarkan gelombang besar dan semakin besar. Gelombang itu perlahan menyeruak keluar dari dirinya dan hendak masuk ke dalam Awan yang berdiri dan bersiap di samping Matahari.
Laut mencoba melawan Matahari, tapi kekuatannya telah terserap hingga akhirnya ia terhempas jatuh ke dasar lapisan Langit. Laut baru saja telah melahirkan Badai, sisi lain dari dirinya. Matahari lantas meminta Awan memasukkan Badai dalam tahanan Petir, tempat yang menyilaukan juga menyambar-nyambar, dan tak ada yang mampu menebasnya. Hal itu terbukti saat Laut berupaya mencoba untuk melepaskan Badai dari genggaman Petir, namun tidak berhasil. Walau pertarungan sengit terjadi, Laut harus menerima keunggulan Petir dan mengasingkannya turun ke Bumi.
Bumi menimang Laut dengan pelukannya. Menerimanya sebagai murid, sahabat, juga keluarga. Laut belajar banyak dari Bumi, yang ternyata juga terpisah dari dirinya yang lain yakni Langit. Namun Bumi sama sekali tak menyesali hal itu, ia merelakannya. Pernah suatu kali Bumi berontak dan hendak menyatukan dirinya kembali dengan Langit, tetapi ia tak meneruskannya. Hentakan dari kehendaknya itu dapat membinasakan jagad raya. Bumi memilih menerima apa yang terjadi. Lain Laut, lain pula dengan Bumi, tekad menyelamatkan Badai terus-menerus menghantui dirinya.
Laut telah berulang kali menyusun rencana dan berusaha menyelamatkan Badai, namun belum berhasil jua. Bahkan untuk menghalau kedatangan Laut, Petir menciptakan pasukan khusus bernama Halilintar. Karena melihat kegigihan Laut, Bumi tergerak untuk membantu. Dengan kekuatannya yang tersisa, Bumi menemui Matahari dan menceritakan perihal derita yang Laut alami. Pertemun Bumi dan Matahari menjadi kabar baik bagi Laut.
Matahari menandatangani perjanjian musim untuk mempertemukan Badai dengan Laut pada ‘Musim Hujan’, yang selama itu terjadi Petir tetap akan selalu hadir mengantar Badai turun ke Bumi. Dan sebagai konsekuensinya Bumi menerima syarat dari Matahari untuk menanggung Kemarau.
Kakek Sulo, menghela nafasnya sejenak dan membuka sebuah peti. Saat terhempas dari Langit, Bumi menimang dan memeluk Laut di tempat ini. Dari dasar peti usang hangus itu Kakek Sulo mengangkat gelas berisi Api yang tercipta dari percikan Bintang. Pada gagangnya tertulis, “Pelaut ulung tak lahir dari laut yang tenang, tapi ia lahir dari gelombang besar bernama Badai.”
*bersambung.