Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

politik
Ilustrasi MI. (MI/Duta)

Pilkada 2024: Politik, Dinasti, dan Potensi



Penulis: Nuryadi, S.H, M.M


“Pesta demokrasi menjadi sinisme dibalik tudingan ‘boneka’ dan citra positif.”

Pesta demokrasi telah usai dengan masih menyisakan sejumlah kontroversi. Di satu sisi, hajatan pesta demokrasi 5 tahunan masih berkutat dengan persoalan keadilan meski pada sisi lain juga masih dibayangi ragam praktik dinasti politik dan politik dinasti. Ironisnya wacana dinasti politik mengemuka.

Di satu sisi pesta demokrasi adalah momentum yang paling tepat untuk melakukan suksesi kepemimpinan meski pada sisi lain di akhir periode Presiden Jokowi berhasil melakukan regenerasi melalui hajatan 5 tahunan pesta pemilu.

Terkait ini ancaman dibalik dinasti politik dan politik dinasti tidak bisa diabaikan, meski fakta yang mengemuka antara dinasti politik dan politik dinasti tidaklah bisa diabaikan dengan kekuasaan dan kesempatan.

Mencermati pasca pesta demokrasi 2024 setidaknya ada beberapa hal menarik dicermati.

Pertama: kekhawatiran dan kerawanan dari dinasti politik dan politik dinasti. Tidak bisa dipungkiri demokrasi langsung di era otda memberi peluang terjadi dinasti politik dan politik
dinasti.

Tidaklah heran jika beberapa pilkada terlihat berbagai komposisi yang sejatinya adalah strategi membangun dinasti politik melalui politik dinasti. Setidaknya, fakta ini bisa terlihat dari kekuasaan dari bapak ke istri atau anak – menantu – saudara.

Bahkan, kemarin juga muncul pemberitaan di daerah Jawa Timur tentang dua istri wakil kepala daerah yang diangkat menjadi kepala desa.

Kedua: dinasti politik tidak bisa lepas dari potensi, baik itu istrinya, anak – menantu atau kerabatnya. Jika memang mereka berpotensi mengapa tidak? Yang menjadi persoalan adalah apakah mereka benar-benar berpotensi bertarung dan terjun di dunia politik.

Jadi, beralasan dengan pemberitaan koran lokal yang mempertanyakan kompetensi dari para petarung dalam pesta demokrasi kemarin. Artinya semua butuh proses, pemantapan dan kematangan, tidak sekedar anak siapa dari dinasti siapa. Ketidaksiapan dan kematangan semu berdemokrasi dan berpolitik sangat rawan terjerat kasus korupsi.

Ketiga: tidak bisa dipungkiri sukses karir orang tua menjadikan pencitraan yang baik dan ini menjadi modal bertarung dinastinya pada perpolitikan. Oleh karena itu, ada dua persepsian berkembang yaitu di satu sisi sebagian pengamat menegaskan masuknya kerabat di bursa
penjaringan pesta demokrasi menjadi sinisme dibalik tudingan ‘boneka’ dan citra positif dan disisi lain ada yang memperingatkan lebih baik di akhir periode kekuasaan tidak direcoki oleh keikutsertaan kerabat di pesta demokrasi dengan harapan ketika lengser meninggalkan nama baik.

Meski demikian hajatan sudah berlangsung dan hasilnya juga sudah bisa terlihat meski masih menunggu rekapitulasi dari KPU. Fakta ini menjadi catatan menarik dibalik sukses hajatan pesta demokrasi 5 tahunan.

Keempat: kekhawatiran terhadap ancaman korupsi tampaknya menjadi faktor utama dibalik pemberitaan. Dunia politik sangat kejam dan cenderung saling intrik.

Tidak ada istilah kawan atau lawan abadi karena yang ada hanyalah kepentingan pribadi. Politisi kawakan yang
banyak pengalaman saja bisa terjerat pada korupsi, termasuk juga korupsi secara berjamaah, apalagi politisi baru yang belum banyak mengenal kejamnya politik.

Mahalnya ongkos demokrasi menjadi jerat korupsi dan jual beli jabatan.

Kelima: yang tidak bisa diabaikan dari suksesi dari pesta demokrasi adalah bagaimana parpol dan publik mensikapi. Kerabat dari dinasti tidak bertarung jika tidak ada parpol yang mengusungnya.

Selain itu, jika ada parpol yang mengusung, kemenangan masih ditentukan apakah publik mendukungnya. Jika tidak, mereka tidak akan menjadi penerus dinasti. Beralasan jika pengamat berharap agar sukses pesta demokrasi kemarin menjadi catatan untuk menata proses yang lebih baik dalam pesta demokrasi berikutnya sehingga sejumlah kontroversi yang terjadi tidak menjadi aduan sengketa yang berlarut