
Perjalanan Hati di Tengah Jalan Berdebu
Oleh: Sulaiman
Mahasiswa IAIN Parepare
KKN itu singkatan dari Kuliah Kerja Nyata. Tapi entah sejak kapan, di banyak posko mahasiswa, singkatan itu berubah menjadi Kisah Kasih Nyata. Desa yang awalnya diimpikan sebagai laboratorium pengabdian berubah jadi panggung drama percintaan. Jalan berdebu yang seharusnya menghubungkan ide dan kerja sama justru menjadi jalur cepat menuju hati seseorang di posko lain.
Dari luar, semuanya terlihat rapi; mahasiswa sibuk mondar-mandir antarposko, membawa laptop, kadang menenteng kamera. Tapi kalau diperhatikan lebih dekat, map itu kosong, laptop tak pernah dibuka, dan kamera hanya merekam senyum-senyum yang entah untuk dokumentasi kegiatan atau dokumentasi kenangan pribadi. Semua dibungkus dengan alasan klise: “Koordinasi program kerja.” Padahal koordinasi itu sering dilakukan malam hari, di jalan sunyi, dengan bensin yang dibeli dari dana yang awalnya dianggarkan untuk kegiatan desa.
Kita boleh saja menertawakan fenomena ini, tapi di balik tawa itu ada ironi yang pahit. Masyarakat desa percaya mahasiswa datang membawa perubahan, tapi yang mereka terima terkadang hanyalah cerita cinta singkat yang tak pernah masuk laporan akhir KKN.
KKN (Kuliah Kerja Nyata) katanya adalah ajang pengabdian. Momen ketika mahasiswa turun gunung dari gedung-gedung kampus untuk merasakan denyut nadi desa. Momen ketika ilmu yang bertumpuk di kepala diuji di jalan tanah, bukan hanya di lembar ujian. Tapi entah mengapa, dari tahun ke tahun, di antara laporan program kerja, rapat koordinasi, dan pembagian tugas, selalu ada satu program tak tertulis yang berjalan begitu rapi: cinta lintas posko.
Dari posko ke posko, jarak yang mestinya hanya diisi debu jalanan, ternyata juga dilalui detak jantung yang tak kalah kencang dari suara mesin motor. Jalan setapak yang dulu hanya dilewati untuk mengantar proposal kerja, kini jadi rute rahasia untuk mengantar rindu.
Tak ada yang mau mengaku, tapi semua tahu. Bahkan sebelum program kerja dimulai, sudah ada yang mulai “survey lapangan” bukan untuk mencari lokasi bakti sosial, tapi memastikan siapa saja personel posko sebelah. Begitu ada yang menarik perhatian, intensitas kunjungan pun meningkat. Alasannya? “Koordinasi kegiatan antarposko.” Entah mengapa koordinasi itu seringnya dilakukan malam hari, ketika jalan desa mulai sepi, dan hanya suara jangkrik yang jadi saksi.
Di sinilah absurditasnya: di tengah semangat pengabdian, terselip agenda personal yang nyaris tak terbendung. Yang membuat lucu sekaligus miris, semua pihak berpura-pura tak tahu. Pihak kampus berasumsi mahasiswa sibuk memberdayakan warga. Warga desa mengira mahasiswa sedang merapatkan rencana pembangunan taman. Sementara mahasiswa yang bersangkutan? Sedang membangun istana angan-angan di tengah jalan berdebu.
Fenomena ini bukan hal baru. Setiap tahun ada saja kisahnya. Mulai dari romansa yang berakhir manis sampai drama yang berujung saling sindir di grup WhatsApp lintas posko. Ada yang awalnya rajin mengunjungi posko lain untuk “pinjam case iphone”, tapi akhirnya yang dipinjam adalah waktu dan perhatian. Ada yang alasannya “ngantar undangan rapat”, padahal rapatnya baru tiga hari lagi.
Memang, di lingkungan yang terisolasi dari hiruk pikuk kota, dengan jadwal padat dan jarak fisik yang dekat, wajar kalau perasaan bisa tumbuh cepat. Tapi masalahnya, banyak yang lupa membedakan mana yang sekadar bunga singgah dan mana yang akar. Jadinya, begitu program KKN selesai, jarak kota ke kota lebih susah dijangkau daripada jarak posko ke posko. Yang tadinya tiap malam bisa bertatap muka, kini hanya bertatap layar dan perlahan menghilang.
Yang lebih menyedihkan, perjalanan hati ini seringkali mengorbankan perjalanan pengabdian. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menyiapkan program desa malah habis untuk merencanakan pertemuan rahasia. Anggaran bensin yang mestinya untuk survei lokasi kegiatan justru terpakai untuk bolak-balik antarposko. Bahkan ada yang program kerjanya yang kurang masif karena sang anggota posko lebih fokus menjaga hubungan diplomatik dengan “posko tetangga” daripada menjaga progres pekerjaan.
Fenomena ini ibarat jalan berdebu yang kita lalui: dari luar terlihat biasa saja, tapi setiap langkahnya menempelkan sesuatu yang tak mudah hilang. Hanya saja, debu jalan bisa dicuci, sedangkan kenangan perjalanan hati sulit dibersihkan apalagi jika meninggalkan jejak yang tak diinginkan.
Pertanyaannya, apakah salah jatuh cinta saat KKN? Tidak. Jatuh cinta tidak pernah salah. Yang salah adalah ketika alasan cinta membuat lupa tujuan awal. KKN adalah momen yang dibayar mahal, bukan hanya oleh biaya administrasi, tapi juga oleh kepercayaan masyarakat desa yang berharap ada perubahan. Saat perhatian mahasiswa terbagi, desa yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru jadi penonton drama romantis yang tak mereka undang.
Sebagian orang mungkin akan berkata, “Ah, biarkan saja, itu bagian dari proses hidup.” Mungkin benar. Tapi kalau proses hidup itu menggerus integritas pengabdian, bukankah kita perlu sedikit mengerem gas motor sebelum sampai ke posko sebelah? Karena sejatinya, pengabdian yang tulus tak memerlukan tiket perjalanan hati.
KKN seharusnya menjadi kisah tentang bagaimana mahasiswa menyalurkan ilmu dan tenaga untuk membangun desa. Tentang kerja keras di tengah panas terik, tentang tawa anak-anak yang gembira saat bermain permainan edukasi, tentang diskusi panjang dengan aparat desa mencari solusi masalah lokal. Bukan semata-mata kisah lintas posko yang hanya berakhir di arsip galeri ponsel.
Perjalanan hati dari posko ke posko mungkin terasa manis saat dijalani. Debu jalan terasa ringan ketika ada yang dibonceng di belakang. Tapi begitu program selesai, jalan itu kembali sepi, dan debu kembali mengendap di sepatu tanpa jejak ban motor. Sementara desa, yang seharusnya menerima manfaat nyata, hanya mendapat cerita bahwa mahasiswa KKN ramah dan rajin bertandang meski tak selalu jelas apa yang ditinggalkan selain jejak senyum.
Jadi, sebelum kita kembali menempuh jalan berdebu untuk alasan yang salah, mari ingat bahwa perjalanan sejati dari posko ke posko seharusnya adalah perjalanan ide, program, dan kerja nyata. Karena cinta mungkin akan pudar, tapi jejak pengabdian yang tulus akan terus dikenang oleh desa jauh setelah debu jalan menghilang.