
Opini: Benarkah Parepare Kota Paling Intoleran???
Rusdianto Sudirman
Ketua LBH GP Ansor Kota Parepare
Hari ini, Setara Institute merilis laporan tahunannya mengenai indeks kota toleran (IKT), dan secara mengejutkan menempatkan Kota Parepare sebagai kota paling intoleran di Indonesia tahun 2025.
Temuan ini bukan sekadar data statistik, tetapi alarm keras bagi kehidupan kebangsaan kita di level lokal. Sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Pemuda Ansor Kota Parepare, saya memandang bahwa persoalan ini tidak bisa dibaca hanya sebagai potret sosial, tetapi juga sebagai cerminan kegagalan penegakan prinsip negara hukum dan konstitusionalisme di tingkat daerah.
Indeks Kota Toleran (IKT) yang dirilis oleh Setara Institute mengukur sejauh mana kota-kota di Indonesia menjamin kebebasan beragama, tidak melakukan diskriminasi, dan memiliki kebijakan serta tindakan pemerintah daerah yang inklusif terhadap keragaman. Tahun ini, Parepare menempati urutan terbawah dari 94 kota yang diteliti.
Parepare sebelumnya dikenal sebagai kota cerdas dengan jargon Smart City, kota BJ Habibie yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan rasionalitas. Namun hari ini, justru dicap sebagai kota yang paling tidak toleran. Ini bukan saja mencoreng citra kota, tetapi juga menyentil nurani kita sebagai warga yang hidup di bawah payung konstitusi yang menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Salah satu kasus yang diyakini menjadi indikator krusial adalah penolakan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel. Pembangunan lembaga pendidikan tersebut telah mendapat izin resmi dari pemerintah, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, sekelompok warga yang mengatasnamakan diri sebagai “forum masyarakat muslim Parepare” melakukan penolakan terbuka, dengan dalih menjaga harmoni sosial. Ironisnya, pemerintah kota tampak tidak cukup tegas melindungi hak-hak konstitusional warga Kristen yang hendak mendirikan sekolah sebagai bagian dari pelayanan keagamaan dan pendidikan.
Jika kita menilik Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945, setiap orang berhak memeluk agama dan kepercayaannya, serta menyatakan pikiran dan keyakinannya sesuai hati nurani. Lebih tegas lagi, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penolakan terhadap pembangunan sekolah berbasis Kristen jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi.
Kelompok intoleran bukan saja melakukan tekanan sosial, tetapi juga memaksa negara tunduk pada logika mayoritas yang bertentangan dengan hukum. Dalam teori negara hukum (rechtsstaat), tidak ada kekuasaan atau kehendak mayoritas yang boleh melampaui hukum. Ketika negara tunduk pada tekanan kelompok intoleran, maka itu bukan lagi negara hukum, melainkan negara massa.
Dalam berbagai peraturan, termasuk UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pendirian Satuan Pendidikan, setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan mendirikan satuan pendidikan, termasuk berbasis keagamaan. Tidak ada satu pasal pun yang menyaratkan “restu mayoritas” sebagai syarat berdirinya sekolah.
Oleh karena itu, penolakan terhadap Sekolah Gamaliel merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum nasional.
Kepatuhan terhadap hukum adalah indikator utama peradaban. Ketika kelompok-kelompok intoleran dapat memaksa pemerintah membatalkan izin atau menghambat pendirian lembaga pendidikan yang sah, maka kita menghadapi bahaya besar: pembiaran negara terhadap pelanggaran hukum oleh aktor non-negara.
Pemerintah daerah, dalam hal ini Wali Kota Parepare dan jajarannya, tidak boleh bersikap ambigu. Mereka wajib secara tegas menegakkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, sekalipun harus berhadapan dengan tekanan massa. Keamanan dan harmoni sosial tidak boleh dibangun di atas pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam konteks ini, organisasi masyarakat sipil seperti GP Ansor dan Banser memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, persatuan, dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. GP Ansor Parepare telah secara terbuka menolak segala bentuk intoleransi, dan mendukung kebebasan warga negara dalam menjalankan keyakinannya.
Kita juga mendorong agar tokoh-tokoh agama, intelektual, dan akademisi di Parepare menyuarakan sikap yang berani melawan intoleransi. Pembiaran hari ini adalah bencana besok. Ketika kita diam terhadap persekusi satu kelompok, maka bukan tidak mungkin kelompok lain akan menjadi korban berikutnya.
Parepare bukan kota kecil dalam sejarah Indonesia. Ia adalah tempat lahirnya Presiden ke-3 Republik Indonesia, B.J. Habibie, tokoh reformis dan teknokrat besar yang sangat menjunjung nilai-nilai rasionalitas dan kemanusiaan. Kita semua berkewajiban menjaga warisan itu, termasuk dengan menolak segala bentuk fanatisme sempit yang menggerogoti sendi kehidupan berbangsa.
Pemerintah Kota Parepare harus segera melakukan koreksi serius terhadap kebijakan yang diskriminatif, memberikan jaminan kepada semua warga tanpa kecuali, dan melibatkan organisasi masyarakat sipil yang inklusif dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Aparat penegak hukum harus bersikap netral dan tegas terhadap segala bentuk ancaman terhadap hak konstitusional warga.
Hasil riset Setara Institute seharusnya tidak direspon dengan defensif, tetapi dengan langkah konkret untuk memperbaiki situasi. Ini bukan sekadar persoalan indeks, tetapi soal keberlangsungan demokrasi dan negara hukum di kota kita tercinta.