Kolom: Demo Akbar, Logika Mayoritarianisme dan Teladan Sang Nabi
Oleh: Ahmad SM
Anggota dan Peneliti di Laboratorium al-Qur’an dan Hadis (LSQH), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alumnus Southeast Dialogue Cities Conference, King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID), di Bangkok, Thailand, 2023. Kelahiran Parepare, saat ini bermukim di Yogyakarta.
Belum lama tersebar sebuah rencana demo akbar di media sosial. Demo yang diorganisir oleh Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P) hendak menolak pendirian sekolah Kristen yang disebut berada di tengah komunitas 100% berpenduduk muslim.
Identitas agama Si Paling Banyak Jumlah yang membuat persoalan ini menjadi berwajah seolah Islam versus Kristen. Terlebih dengan mata telanjang, dapat disaksikan yang berunjuk rasa menyebut dirinya representasi “masyarakat muslim” dan yang menjadi tujuan dari demo tersebut ialah lembaga pendidikan milik yayasan Kristen. Mengapa ini bisa terjadi? Apakah rasa kewargaan dan kebangsaan di negeri dengan semboyan bhinneka tunggal ika ini begitu rapuh? Sehingga aksi-aksi model begini kerap terjadi.
Di negeri yang sejak lama diizinkan diinjak oleh perbedaan, dewasa ini menuju ke arah yang tidak ramah bagi keberagaman identitas. Mengapa umat muslim sereaktif itu dengan sebuah lembaga pendidikan dari tradisi agama yang berbeda?
Jika dirunut, demo ini seolah menjadi episode lanjutan dari peristiwa di akhir tahun 2023 lalu, ketika terjadi demo dengan tema serupa, oleh aktor yang tidak jauh berbeda. Kali ini, hanya berbeda momentum.
Jejak Parepare sebagai Kota Kosmopolit
Parepare, sebagai penyangga Ajatappareng dan Makassar, telah lama menjadi pusat lalu lintas orang dari berbagai penjuru dunia. Sejak pra-kemerdekaan, kota ini dilalui oleh orang-orang dari Belanda, Melayu, Enrekang, Toraja, Sidenreng Rappang, Pinrang, Barru dan masih banyak lagi. Keberagaman ini menandai Parepare sebagai kota yang heterogen, jauh dari kesan homogen atau monolitik dari segi identitas. Bahkan sejak berstatus afdeling (bagian pemerintahan), keberagaman di Parepare telah bagian integral atau roh dari identitas kota ini, yang terus berlanjut hingga pasca kemerdekaan.
Sebagai kota transit, pusat perekonomian, Parepare membuka pintunya bagi siapa saja, tanpa memanda latar belakang suku, agama atau identitas. Kota ini menjadi rumah bagi para pendatang yang terlibat dalam aktivitas niaga, menetap dan akhir menjadi bagian dari masyarakat Parepare. Dengan lalu lintas yang kosmopolit dan terbuka, Parepare berkembang sebagai tempat yang menerima dan memelihara keberagaman.
Namun, demo akbar tersebut bertentangan dengan semangat kosmopolitanisme Parepare. Demo tersebut, yang dipicu oleh penolakan terhadap pendirian sekolah Kristen di lingkungan dominan Muslim, menunjukkan logika mayoritarianisme yang sempit. Ini berlawanan dengan karakter Parepare sebagai kota yang menghargai keberagaman, terbuka dan memiliki pola pikir terbuka.
Narasi yang dibangun dalam demo akbar tersebut memperlihat sesat pikir dan gagalnya memahami prinsip kewargaan di Indonesia. Selain itu, hanya mencoreng wajah Parepare yang dikenal ramah dan inklusif sejak lama.
Ketakutan kelompok tersebut terang masih berada dalam logika kolonial, khususnya ketika melihat umat Kristen sama dengan wajah Barat yang dulu kala datang—selain mengambil kekayaan alam, juga menyebarkan agama Kristen. Selain tuduhan tersebut salah alamat, juga memberi kesan betapa lemahnya iman dari kelompok pendemo itu. Narasi kristenisasi adalah dalil klasik untuk membunuh keragaman di satu kawasan. Prasangka buruk tersebut tidak relevan dan bertentangan dengan sejarah Parepare yang plural dan kosmopolit. Parahnya kelompok tersebut juga historis.
Catatan ini tidak ingin memprotes aksi menyuarakan pendapat di ruang publik—yang notabene adalah hak konstitusional, namun jika sudah mengeluarkan ujaran, hasutan kebencian dan anjuran untuk melakukan kekerasan. Saya kira, itu yang akan menjadi persoalan bagi semua orang, tidak penting latar agamanya. Khususnya bagi aparat kepolisian dan pemerintah kota Parepare yang tugas utamanya adalah menegakkan konstitusi dan menjaga kehidupan bangsa. Memastikan semua warganya bisa mengakses haknya secara setara—sebab ini juga mandat konstitusi yang hukumnya adalah fardhu ‘ain, harus ditunaikan oleh negara.
Jika tindakan demo bernada primordial bernuansa agama seperti itu dibiarkan, Parepare akan mundur ke masa lalu, jauh dari semangat kosmopolitanisme.
Mengapa Mereka Demo Akbar?: Munculnya Logika Mayoritarisme
Berdasarkan sensus tahun 2020, populasi Kristiani di Parepare berkisar 7.000 jiwa, dengan perkiraan 30% di antaranya adalah pelajar. Artinya, ada sekitar 2.000 pelajar Kristiani di Parepare. Jumlah ini mencerminkan kebutuhan pendidikan khusus bagi mereka, apalagi terbatasnya guru-guru Pendidikan Agama Kristen/Katolik di sekolah-sekolah negeri yang membuat siswa Kristiani kesulitan dalam belajar agama di sekolah. Dalam konteks ini, pendirian sekolah Kristen tampaknya bisa menjadi solusi yang wajar dan tepat.
Lantas mengapa Si Paling Banyak Jumlah itu merasa terusik? Yayasan Gamaliel, yang mendirikan sekolah tersebut jelas menarget siswa-siswi Kristiani, bukan Muslim. Dewasa ini, sangat jarang menemukan orang tua Muslim—terlebih di konteks Parepare—menyekolahkan anaknya di sekolah swasta berbasis Kristen. Jadi, pertanyaan mendasarnya ialah: mengapa Si Paling Banyak Jumlah tersebut merasa terancam atau mengalami ketakutan?
Noorhaidi Hasan, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pakar politik Islam, menerangkan bahwa ketakutan orang-orang tersebut berasal dari mentalitas sedang “dikepung” (under siege mentality) oleh proyek misionaris Kristen yang dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi komunitas Muslim. Mentalitas terkepung inilah yang menimbulkan rasa takut berlebihan, atau yang disebut oleh Edward W. Said sebagai imagined fear –ketakutan yang dibentuk melalui stereotip dan prasangka terhadap “yang lain”
Demo akbar dengan dalil identitas primordial bahwa kelompok A (Kristiani) tidak cocok mendirikan sekolah di wilayah mayoritas B (Muslim) —adalah dalil yang melanggengkan logika mayoritarianisme. Logika ini kerap ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk kota kecil bernama Parepare, di mana kelompok yang dominan merasa memiliki hak lebih atas ruang publik dan kehidupan sosial.
Logika mayoritarianisme ini mengakibatkan kelompok komunitas agama yang secara jumlah tidak banyak di daerah tertentu—dalam kehidupan publik mendapat rintangan, dalam hal mengekspresikan diri, menunaikan ibadahnya secara bebas, kesetaraan mengakses birokrasi dan memperoleh kesempatan lain yang setara dengan warga lain dengan identitas yang dominan.
Lebih jauh, logika mayoritarianisme ini sering kali mengkristal menjadi mental tiran yang otoriter, di mana kelompok yang merasa banyak dari segi jumlah menggunakan kekuasaan jumlahnya untuk menekan dan menindas kelompok yang dari segi jumlah tidak dominan. Dalam kasus ini, kendati sekolah Kristen milik Yayasan Gamaliel sudah mengantongi izin dari Pemerintah Daerah (Pemda), kelompok yang jumlahnya banyak merasa berhak untuk menolak dan memaksa mereka pergi.
Ini menjadi cermin kolonialisme dalam bentuk baru, di mana kemanusiaan diinjak-injak. Ketika kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana, demikian kata Pramoedya Ananta Toer dalam “Bumi Manusia”.
Teladan Sang Nabi
Dalam suasana peringatan kelahiran tokoh reformator dunia, Muhammad bin Abdullah (530-632 M), kita diingatkan akan teladan beliau dalam membangun masyarakat kosmopolit dan beragam. Nabi Muhammad berhasil memimpin masyarakat Madinah, di mana perbedaan diakui dan dihamorniskan. Kota itu menjadi contoh bagaimana komunitas berbeda agama dan keyakinan dapat hidup berdampingan dalam perdamaian. Hal serupa juga pernah terjadi di peradaban Andalusia (sekarang Spanyol), di mana umat Yahudi, Kristen dan Muslim pernah hidup berdampingan tanpa ada demonstrasi atau protes sektarian.
Salah satu kunci dari keberhasilan Nabi Muhammad SAW adalah Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah), sebuah perjanjian yang menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan sosial bagi semua, tanpa memandang agama. Nabi tidak hanya menerima perbedaan, tetapi juga mengelola dengan bijak, menjadikannya kekuatan untuk membangun masyarakat yang adil dan harmonis. Perbedaan bukanlah alasan untuk memecah belah, melainkan sebuah berkah yang bisa diolah menjadi harmoni sosial.
Contoh lain yang memperlihatkan sikap Nabi terhadap keberagaman terlihat pada tahun 631 M, ketika delegasi Kristen dari Najran datang ke Madinah untuk berdiskusi dengan Nabi mengenai berbagai isu teologis dan politik. Pertemuan tersebut berlangsung dengan damai dan penuh rasa hormat. Selepas pertemuan tersebut, Nabi Muhammad juga membuat perjanjian dengan kaum Kristen Najran yang berisi jaminan kebebasan beragama serta perlindungan atas harta benda dan rumah ibadah mereka. Salah satu isi perjanjian itu berbunyi:
“Bagi mereka hak atas perlindungan Allah dan jaminan dari Muhammad, nabi Allah, untuk gereja-gereja mereka, biara-biara mereka, kehidupan dan harta benda mereka. Mereka tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh diganggu”
Jika segelintir orang, entah dia orang Soreang atau pun orang yang menumpang kepentingan di Soreang, dan mengaku sebagai pengikut Nabi Agung Muhammad SAW namun menunjukkan sikap intoleransi terhadap mereka yang berbeda agama, mereka perlu belajar, dan tidak boleh berhenti belajar tentang akhlak Nabi.
Nabi Muhammad SAW satu milenium lebih meninggalkan pusaka yang berharga, berupa teladan akhlak mulia, terutama dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda agama atau keyakinan.
Sang Nabi tidak hanya memberi perintah, namun juga menunjukkan melalui tindakan bahwa umat Kristen, beserta gereja, kehidupan dan harta benda mereka tidak boleh diganggu alias harus dilindungi.
Di era kebencian makin ramai, kita butuh islam ramah, bukan islam marah!