
Gus Dur, Pahlawan Sufi yang Menyelamatkan Kemanusiaan
Oleh: Prof. Kyai Hannani (Rektor IAIN Parepare/Pimpinan Pondok Pesantren Zubdatur Asrar NU Parepare)
Di tengah hiruk-pikuk politik dan derap modernitas yang sering melupakan nurani, nama KH. Abdurrahman Wahid “Gus Dur” kembali menyeruak sebagai suara hati bangsa. Ia tidak hanya dikenang sebagai Presiden keempat Republik Indonesia, tetapi juga sebagai manusia arif yang menyalakan cahaya spiritual di tengah gelapnya ego dan perpecahan.
Gus Dur adalah paradoks yang menenangkan: seorang ulama yang gemar tertawa, seorang pemimpin yang tidak takut kehilangan jabatan, dan seorang pejuang yang tak membalas kebencian dengan amarah. Ia menempuh jalan sufi di tengah riuh dunia politik; jalan kasih di tengah kecurigaan; jalan kemanusiaan di tengah klaim kebenaran.
Kini, ketika bangsa ini kembali diuji oleh polarisasi dan intoleransi, pemberian gelar pahlawan nasional bagi Gus Dur bukan sekadar bentuk penghormatan, melainkan pengakuan atas warisan spiritual yang menjaga keutuhan Indonesia.
Spiritualitas yang Membumi
Gus Dur bukan hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga seorang arif billah, pecinta Tuhan yang hidup di antara manusia. Spiritualitasnya tidak berhenti pada dzikir atau ibadah ritual, melainkan menjelma dalam tindakan sosial: membela yang lemah, menolong yang tertindas, dan merangkul yang terpinggirkan.
Ia pernah berkata, “Tugas manusia bukan membela Tuhan, tapi membela sesama manusia dari kezaliman atas nama Tuhan.” Kalimat itu bukan sekadar kritik terhadap fanatisme, tetapi penegasan bahwa iman sejati harus melahirkan kasih sayang dan keadilan sosial.
Greg Barton, seorang sarjana Barat yang meneliti Islam progresif Indonesia, menyebut Gus Dur sebagai figur langka yang memadukan humor dengan hikmah, politik dengan moralitas, serta teologi dengan kemanusiaan. Dalam pandangan Barton, Gus Dur menghadirkan wajah Islam yang mampu berdialog dengan dunia modern tanpa kehilangan akarnya pada nilai-nilai sufistik Nusantara.
Bagi Gus Dur, agama bukan tembok pemisah, melainkan jembatan kasih. Ia hadir dalam perayaan Natal di gereja, berdialog dengan pastor dan biksu, dan menulis surat penuh cinta kepada rakyat Papua dengan sapaan “saudara sebangsa”. Dalam pandangannya, setiap manusia adalah pantulan wajah Tuhan.
Itulah sufisme Gus Dur: mencintai Tuhan dengan cara mencintai manusia. Ia tidak berhenti mengajarkan cinta, tetapi menghidupkannya dalam praktik kebangsaan. Dalam tangannya, welas asih berubah menjadi kebijakan publik dan cinta menjadi energi politik.
Kemanusiaan sebagai Ibadah
Bagi Gus Dur, kemanusiaan adalah bentuk ibadah tertinggi. Ia melihat kekuasaan bukan sebagai alat untuk menguasai, melainkan sebagai sarana untuk menegakkan kemaslahatan. Politik, bagi Gus Dur, adalah ruang pengabdian sosial yang bertujuan menegakkan martabat manusia.
Langkah-langkah yang ia ambil semasa menjabat sebagai presiden menunjukkan semangat itu. Ia membuka pintu kesetaraan bagi semua warga negara, termasuk mereka yang selama puluhan tahun mengalami diskriminasi. Ia memulihkan kepercayaan kelompok minoritas untuk kembali merasa memiliki tanah air ini. Keberaniannya merangkul perbedaan adalah bentuk ibadah sosial yang menjunjung tinggi keadilan spiritual.
Azyumardi Azra pernah menulis bahwa Gus Dur adalah “Walisongo abad modern”, karena menghadirkan Islam yang menyatu dengan kebudayaan tanpa kehilangan keikhlasan tauhidnya. Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai “moral voice of the ummah”, suara moral umat yang terus mengingatkan bahwa keberagamaan tanpa kemanusiaan adalah kesia-siaan.
Dalam pandangan tasawuf, Gus Dur mencapai maqam rahmah, tingkat spiritual di mana kasih sayang tidak lagi bersyarat. Seperti diungkap Imam al-Ghazali, “Tanda orang yang dekat dengan Allah adalah hatinya yang lembut kepada makhluk.” Dengan kesadaran itu, Gus Dur menjalani politik sebagai ladang rahmat, bukan arena permusuhan.
Welas Asih sebagai Kekuatan Bangsa
Welas asih, dalam ajaran tasawuf, adalah puncak dari kekuatan batin. Gus Dur menjadikannya senjata untuk melawan kebencian dan kekerasan. Ia tidak pernah membalas hinaan dengan amarah, tidak menanggapi fitnah dengan dendam. Bahkan setelah dijatuhkan dari kursi presiden, ia memilih menanggapi semuanya dengan tawa. Dari tawa itu kita belajar bahwa kekuasaan dapat dirampas, tetapi kemuliaan hati tidak dapat dicuri.
Robert Hefner, seorang sosiolog Amerika, menyebut Gus Dur sebagai “a moral democrat,” seorang demokrat yang menuntun politik dengan hati nurani. Hefner menilai bahwa kehebatan Gus Dur tidak terletak pada jabatan yang pernah dipegangnya, tetapi pada nilai-nilai yang ia tegakkan: toleransi, empati, dan keberanian moral.
Dari nilai-nilai itulah lahir apa yang disebut Gus Dur sebagai politik kasih, etika publik yang berangkat dari kesadaran sufistik. Politik kasih menundukkan ego, memuliakan manusia, dan mengutamakan kedamaian. Bila bangsa ini kehilangan welas asih, maka bangsa ini kehilangan jiwanya. Gus Dur menjaga agar jiwa itu tetap hidup.
Pahlawan Tanpa Pedang
Kita sering mengira pahlawan adalah mereka yang menumpahkan darah di medan perang. Padahal, ada pahlawan yang berjuang di medan batin melawan keserakahan, kebencian, dan ketidakadilan. Gus Dur adalah pahlawan dari jenis itu. Ia melawan dengan pikiran, menaklukkan dengan ketulusan, dan memimpin dengan cinta.
Ia menunjukkan bahwa kepahlawanan spiritual tidak lahir dari kemenangan, melainkan dari kemampuan untuk memaafkan. Di saat bangsa ini terjebak dalam politik tanpa moral, Gus Dur hadir mengingatkan bahwa kemajuan tanpa kemanusiaan hanyalah kehampaan.
Karena itu, gelar pahlawan bagi Gus Dur bukanlah hadiah, tetapi bentuk syukur bangsa kepada nurani yang pernah menyelamatkannya. Di tengah zaman yang gaduh oleh ujaran kebencian dan polarisasi, suara Gus Dur masih menggema: “Kita tidak perlu seragam untuk bisa bersatu, yang kita perlukan hanyalah hati yang saling menghargai.”
Penutup
Dua dekade setelah kepergiannya, cahaya Gus Dur tak pernah padam. Ia tetap menjadi lentera moral di jalan kebangsaan. Bagi sebagian orang, ia adalah presiden. Bagi sebagian lainnya, ulama. Tetapi bagi Indonesia, Gus Dur adalah pahlawan spiritual kemanusiaan: penjaga cinta di tengah bangsa yang sering lupa mencintai.
Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Serdadu.id
Beritautama.co
kalbarsatu.id
surau.co
