
Bahasa Daerah: Cermin Identitas yang Kian Retak
Muhammad Dirgantara
Ketua SEMA FAKSHI IAIN Parepare
Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, bangsa ini tumbuh dengan ratusan suku, budaya, dan juga beraneka ragam Bahasa daerah. Data Enthnologue : Language of The World (2021) mencatat bahwa Indonesia memiliki sekitar 742 bahasa, menjadikannyasalah satu negara dengan keberagaman linguistik tertinggi di dunia. Keberagaman ini menjadi fondasi identitas nasional dan seumber kebanggan.
Namun ironisnya, di tengah semangat persatuan yang terus digemakan, Sebagian masyarakat justru memperlihatkan sikap penolakan terhadap Bahasa daerah, khususnya kalangan generasi muda-mengaggap bahwa Bahasa daerah enjadi simbol keterelakangan. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita belum benar-benar memahami makna Bhinneka Tunggal Ika. Mereka ingin persatuan, tapi takut akan perbedaan. Mereka mengaku nasionalis, namun menolak akar kebudayaan yang justru menyusun wajah Indonesia. Padahal, bahasa daerah bukanlah ancaman bagi persatuan, melainkan warisan leluhur yang seharusnya dijaga, dihormati, dan dirayakan.
Dalam penelitian Australian National University (ANU) di Tahun 2021 mendapatkan bahwa sekitar 441 bahasa Indonesia akan mengalami kepunahan. Di laman Badan Bahasa KEMENDIKBUD, tercatat bahwa Maluku, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara telah mengalami kepunahan.
Bahasa daerah tidak sekadar alat komunikasi, tetapi merupakan cermin dari cara hidup, nilai, dan sejarah suatu kelompok masyarakat. Setiap kata, idiom, dan ungkapan dalam bahasa lokal membawa muatan budaya yang dalam. Ia adalah bagian dari identitas. Menolak bahasa daerah sama saja dengan menolak eksistensi manusia yang memilikinya. Jika seseorang tak bisa menghormati bahasa orang lain, bagaimana mungkin ia bisa mengaku menghargai keberagaman?
Di ruang-ruang publik, kita masih sering menyaksikan diskriminasi bahasa. Orang-orang yang berbicara dengan logat atau bahasa ibu mereka dicibir seolah tidak sopan atau tidak nasionalis. Padahal nasionalisme bukan diukur dari cara berbicara, melainkan dari sikap menghargai dan mencintai bangsanya, termasuk ragam budaya dan bahasanya. Nasionalisme yang menolak bahasa daerah justru adalah nasionalisme semu palsu dan tidak membumi.
Dalam institusi pendidikan pun, dominasi bahasa “standar” sering kali menyingkirkan bahasa lokal. Anak-anak diajarkan untuk berbicara dalam bahasa Indonesia dengan logat tertentu, dan bila logatnya berbeda karena pengaruh bahasa ibu mereka dianggap salah atau aneh. Hal ini secara tidak langsung membunuh kepercayaan diri anak-anak untuk menggunakan bahasa ibunya. Perlahan tapi pasti, bahasa daerah pun menjadi asing bagi generasi penerusnya.
Lebih menyedihkan lagi ketika ada yang merasa superior hanya karena menguasai Bahasa Indonesia dengan fasih, lalu memandang rendah mereka yang lebih terbiasa dengan bahasa lokal. Seolah-olah bahasa Indonesia menjadi simbol status sosial, dan bahasa daerah hanya milik “orang kampung”. Pandangan ini sangat keliru. Bahasa Indonesia memang bahasa pemersatu, tapi bahasa daerah adalah fondasi dari bahasa nasional itu sendiri. Bahasa Indonesia tumbuh dari akumulasi bahasa-bahasa lokal, terutama bahasa Melayu, dan diperkuat oleh pengaruh bahasa lain di Nusantara.
Kita juga tak boleh lupa, banyak kearifan lokal yang bisa diungkapkan dalam bahasa daerah. Nilai-nilai luhur seperti gotong royong, sipakatau, tepo seliro, atau masohi tidak akan pernah bisa diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa Indonesia tanpa kehilangan makna. Jika bahasa daerah punah, maka punahlah pula sebagian nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Maka, perlu agar semua stakeholder turut serta mempertahankan budaya Indonesia, khususnya Bahasa daerah. Melestarikan bahasa daerah bukan berarti mengurangi nilai Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Justru dengan melestarikan bahasa lokal, kita sedang memperkuat jati diri bangsa. Kita bisa menguasai lebih dari satu bahasa tanpa harus merasa mengkhianati satu sama lain. Multibahasa adalah kekayaan, bukan kelemahan.
Mereka yang menganggap bahasa daerah sebagai pengganggu atau sesuatu yang harus ditinggalkan, sejatinya sedang menyempitkan definisi keindonesiaan. Mereka lupa bahwa Indonesia ada bukan karena satu bahasa atau satu logat, tetapi karena keberanian menerima ratusan perbedaan. Bahasa daerah tidak perlu dipertentangkan dengan Bahasa Indonesia. Keduanya bisa hidup berdampingan, saling memperkaya, saling menguatkan.
Meski, dalam Pasal 32 UUD 1945, menyebutkan bahwa negara menghormati dan memelihara Bahasa daerah, sebagai bagian dan memelihara Bahasa daerah bukan hanya mencederai semangat kebangsaan, tapi juga bertentangan dengan konstitusi negara. Namun perlu kiranya agar pemerintah daerah juga membuat aturan khusus untuk menjaga Bahasa daerah masing-masing.
Kita harus mulai mendidik generasi muda untuk tidak hanya bangga terhadap Bahasa Indonesia, tetapi juga terhadap bahasa ibu mereka. Biarkan mereka tumbuh sebagai pribadi yang fasih dalam bahasa nasional, namun tetap akrab dengan bahasa lokal yang membentuk identitas kultural mereka. Jangan paksa mereka memilih. Arahkan mereka untuk mencintai keduanya.
Dan yang terpenting, kita perlu menegur sikap-sikap intoleran terhadap bahasa daerah di manapun kita melihatnya. Jangan diam ketika mendengar seseorang dihina karena bahasanya. Jangan biarkan ruang-ruang publik hanya ramah bagi satu suara saja. Bangunlah Indonesia yang memberi ruang bagi semua lidah untuk berbicara, semua logat untuk didengar, dan semua bahasa untuk dihargai.
Karena pada akhirnya, ukuran kemajuan sebuah bangsa bukan hanya terletak pada seberapa modern infrastrukturnya, tetapi juga pada seberapa besar ia mampu merawat akar budayanya. Dan salah satu akar itu adalah bahasa daerah. Jika kita terus menindasnya dengan ejekan dan intoleransi, jangan salahkan generasi mendatang ketika mereka tumbuh tanpa tahu dari mana mereka berasal.