Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

korupsi
Ilustrasi korupsi. (Medcom.id)

Opini: Membongkar Akar Korupsi di Dunia Peradilan



Penulis: Rusdianto Sudirman
(Ketua DPC Forum Advokat dan Pengacara Republik Indonesia (FAPRI) Kota Parepare &
Ketua LBH GP Ansor Kota Parepare)


Belakangan ini, perhatian publik kembali tertuju pada dunia peradilan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beserta seorang advokat yang diduga terlibat dalam praktik suap-menyuap perkara. Kabar ini menyulut kehebohan, namun, jika kita jujur, rasa kaget itu mungkin sudah berkurang. Realita tentang praktik korupsi di sektor hukum sudah terlalu sering mengisi layar kaca dan media sosial, hingga lama-lama terasa biasa saja.

Bukan tanpa alasan. Sebelumnya, kita menyaksikan bagaimana seorang Ketua Mahkamah Konstitusi pun pernah terseret kasus serupa. Tak hanya itu, hakim agung, pejabat di Mahkamah Agung, bahkan panitera, satu per satu pernah tersandung perkara suap. Seolah-olah ruang sidang yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan, justru menjadi tempat permainan kepentingan. Padahal, peradilan adalah simbol terakhir dari harapan masyarakat terhadap keadilan. Ketika kepercayaan itu dikhianati oleh orang yang diberi amanah, yang kita rasakan bukan hanya kecewa, tapi juga luka yang dalam.

Sebagai seorang dosen hukum dan advokat, saya tentu paham dan terbiasa bicara soal norma hukum. Dalam hal ini, ketentuannya jelas, hakim yang menerima imbalan terkait jabatannya dapat dijerat Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor, sedangkan pemberi suap dikenakan Pasal 5 ayat (1). Tapi yang menjadi kegelisahan saya bukan soal pasalnya, melainkan kenyataan bahwa praktik ini terus berulang. Ada yang keliru dalam sistem kita.

Menurut hemat saya, praktik suap dalam dunia peradilan bukan sekadar soal oknum. Ini adalah gejala dari penyakit yang lebih sistemik, budaya hukum yang permisif, sistem yang longgar, dan lemahnya pengawasan internal. Mari kita telaah secara struktural. Apakah proses promosi seorang hakim ke posisi strategis seperti Ketua PN benar-benar berbasis pada prestasi dan integritas? Atau justru dipenuhi permainan politik internal dan kepentingan tertentu? Penempatan hakim sering kali terlalu administratif, minim transparansi, dan rawan intervensi.

Sementara itu, Komisi Yudisial yang seharusnya menjadi pengawas etik, justru tidak memiliki taji yang cukup. Tugasnya lebih bersifat simbolis sekadar memberi rekomendasi, tanpa jaminan sanksi benar-benar akan dijatuhkan.

Di sisi lain, profesi advokat yang sering disebut sebagai officium nobile atau profesi mulia, tak luput dari sorotan. Kenyataannya, masih ada advokat yang justru menjadikan ruang sidang sebagai arena transaksi. Saya teringat sebuah perbincangan dengan rekan sejawat, yang menyebut ada dua jenis advokat: mereka yang berjuang demi keadilan (advokat pejuang), dan mereka yang menjadi makelar perkara (advokat mafia). Jika ada advokat yang berani menyuap hakim, hampir bisa dipastikan itu bukan pengalaman pertamanya. Celakanya, organisasi profesi pun terkadang lemah dalam menindak pelanggaran serius seperti ini.

Maka, bagi saya, pembenahan dunia hukum kita harus dilakukan secara menyeluruh:
Pertama, Mahkamah Agung perlu menata ulang sistem promosi dan mutasi hakim. Ukuran utama seharusnya bukan senioritas, melainkan integritas dan rekam jejak etik. Proses seleksi juga harus lebih transparan dan terbuka untuk pengawasan masyarakat.

Kedua, Komisi Yudisial perlu diperkuat. Tidak cukup hanya memberi rekomendasi, lembaga ini harus punya kewenangan melakukan audit etik yang menyeluruh, termasuk menyelidiki gaya hidup hakim yang mencurigakan.

Ketiga, organisasi advokat harus lebih tegas dalam menegakkan etika profesi. Jika ada anggotanya yang terbukti menyuap atau menjadi perantara suap, cabut izin praktiknya tanpa kompromi. Bila ini tidak dilakukan, maka kepercayaan masyarakat terhadap profesi ini akan hancur.

Keempat, dunia pendidikan hukum juga harus berbenah. Mahasiswa hukum tak cukup hanya diajarkan teori dan pasal, tapi harus juga dibekali pemahaman bahwa integritas adalah fondasi utama dalam menjalankan profesi. Jika sejak bangku kuliah mereka terbiasa melihat praktik hukum sebagai ruang transaksi, maka krisis integritas ini akan terus berlangsung.
Banyak yang berkata bahwa kasus-kasus seperti ini sudah lumrah. Tapi saya menolak untuk membiasakan kebobrokan. Sebab jika kita anggap hal ini biasa, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan hukum kehilangan maknanya. Kita sedang membiarkan generasi mendatang hidup dalam negeri yang tak lagi bisa dipercaya.

Penangkapan Ketua PN Jakarta Selatan memang menyakitkan. Tapi mungkin, kita memang perlu disadarkan kembali. Bahwa keadilan tidak untuk dijual. Dan bila kita ingin hukum benar-benar berarti, maka pembenahan harus dimulai dari dalam rumah sendiri meskipun pahit dan menyakitkan.