Imlek Sebelum dan Setelah Gus Dur
Jakarta – Tak ada yang menafikan bahwa Imlek bisa dirayakan kembali di Indonesia berkat tangan dingin KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Keputusannya untuk mengakui seluruh warga negara Indonesia memiliki hak yang sama berdampak besar, termasuk kepada warga keturunan Tionghoa.
Kebijakannya tersebut melahirkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Keppres yang ditandatangani Gus Dur pada 17 Januari 2000 itu menjadi pintu pembuka bagi masyarakat keturunan Tionghoa untuk dapat menjalankan kembali agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya, termasuk perayaan Imlek.
Hal ini sebagaimana disebutkan pada poin kedua dan ketiga dari Keppres tersebut berikut.
Kedua: Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Ketiga: Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
Keputusan Gus Dur itu diperkuat dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, bahwa Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai Hari Nasional.
Perubahan ini sangat dirasakan oleh warga Tionghoa karena perayaan Imlek mereka sebelumnya sepi, bahkan dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam.
Hal demikian ini digambarkan Lan Fang dalam tulisannya, Imlek Tanpa Gus Dur (2012).
“Namun, saya heran, kenapa ‘Idul Fitri’ kami sangat sepi? Bahkan sepertinya dirayakan dengan sembunyi-sembunyi.”
Ya, Lan Fang menulis dengan terma ‘Idul Fitri’ karena ia terbiasa akrab dengan istilah itu mengingat lahir dan tumbuh di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang notabene mayoritas Muslim, selain tinggal di dekat masjid. Saat teman-temannya merayakan Idul Fitri, suasana gegap gempita sangat terasa.
“Akhirnya, saya selalu menunggu Idul Fitri tiba, sebab sebulan penuh itu suasana sangat meriah. Ada banyak penjual makanan dan petasan.”
Saat itu, ia berpikir Idul Fitri juga merupakan sebuah hari raya baginya juga.
Sebab, ia dan keluarganya juga turut serta berkeliling ke para tetangga untuk mengucapkan selamat. Tiga hari sebelumnya, orang tuanya juga membagikan kue-kue.
Namun, dugaannya itu salah. Sebab, orang tuanya juga suatu ketika menutup tokonya seharian penuh.
Lalu menyulut hiosua di pintu belakang toko pada pagi hari, makan misua dan telur rebus, hingga sungkem terhadap orang tua dan sesepuh, serta diberikan angpau. Saat itu, ia diberitahu orang tuanya, bahwa hari itulah hari rayanya
Namun, suasana berubah 180 derajat manakala Gus Dur melalui kebijakannya itu menetapkan tidak ada lagi pelarangan segala kebudayaan Tionghoa.
Bahkan, Imlek dijadikan sebagai hari libur fakultatif berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 yang ditandatangani pada 19 Januari 2001
“Pertama Menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif selama 1 (satu) hari bagi masyarakat Tionghoa di Wilayah Indonesia.”
Keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2001 yang menetapkan tanggal 24 Januari 2001 sebagai hari libur nasional.
“Pertama Menetapkan bahwa Hari Libur Fakultatif Imlek Tahun 2552 jatuh pada Hari Rabu, 24 Januari 2001.”
Setelah keputusan tersebut ditetapkan, Lan Fang merasakan perubahan yang signifikan terhadap ‘Idul Fitri’nya.
Mulanya terasa sepi dan sembunyi-sembunyi, mulai saat itu, suasananya terasa gegap gempita. Betapa tidak, kalimat Gong Xi Fa Chai menjadi begitu banyak diucapkan, seperti Minal Aidin wal Faizin pada Idul Fitri atau Merry Christmas pada perayaan Natal.
Bahkan, Barongsai yang semula hanya bisa dinikmati dalam film-film silat, mulai saat itu, atraksinya bisa ditonton secara langsung.
Sumber: NU Online